Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Terima Kasih Nan-Membebaskan

Diperbarui: 20 Mei 2019   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Bobos Selatan Banten. (dok.Pribadi)

Terima kasih, kata yang singkat, sederhana dan semua kita mengetahui artinya. Namun, benarkah kita telah mengetahui makna sesungguhnya dari terimakasih itu? Tulisan ini, berupaya, memandang arti terimakasih, yang berbeda dari makna nan kita ketahui selama ini.

Terima kasih, biasa kita ucapkan, ketika kita diberi "sesuatu" oleh orang lain. Ketika, kita diberi tempat duduk pada angkutan umum yang sedang padat, diberi uang dari orang tua, dijamu makan oleh kolega, memperoleh THR di tempat pekerjaan, ketika memperoleh pujian, dan lain sebagainya.

Namun, apakah  kita akan tetap mengucapkan terima kasih, ketika mendapatkan musibah, ketika mengalami kecelakaan, ketika orang yang kita cintai, tidak melakukan apa menyenangkan hati. Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, ketika ditipu orang.

Tentunya, Iya.  Mengapa? Bukankah, semua itu musibah. Lalu, mengapa kita harus mengucapkan terima kasih? Pada point inilah, kata terima kasih menjadi kajian yang menarik untuk dibahas.

Kata musibah, hanyalah satu kata dari sudut pandang yang lain, dari kata ujian. Kepandaian kita, memilih bahasa, akan menjadikan segalanya menjadi berbeda. Termasuk, kata musibah yang kita ganti dengan kata ujian. Ujian, konotasinya, dalam konteks waktu, hanya bersifat sementara dan sebentar.

Ketika kita menempuh Sekolah Dasar selama enam tahun. Namun, ujian untuk menentukan kelulusan sekolah selama enam tahun, hanya dalam hitungan hari yang kurang dari seminggu. Demikian juga, ketika SMP dan SMA. Tidak terkecuali, ketika sidang sarjana yang hanya dua hari.

Selesai ujian. Maka, ada pengharapan besar yang menanti kita. Di ujung ujian kita akan. Lulus, dari SD, SMP, SMA bahkan saatnya menjadi sarjana. Jadi, bersyukurlah, ketika ada ujian tiba. Dengan ujian, kita akan lulus, akan jadi sarjana, akan menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali sebelum ujian datang. Dengan logika demikian, masihkah kita tidak patut untuk berterima kasih?.

Dulu, sewaktu saya menjadi volunteer pekerja sosial, guna pengentasan kemiskinan di daerah pedalaman Banten. Wilayah kerja saya berjarak 112 km dari ibu kota kabupaten Lebak. Rangkasbitung. Untuk sampai di wilayah tugas, saya harus melewati jalan yang rusak berat. 

Biasanya, pada separuh jarak perjalanan, saya akan singgah di kedai kopi yang menyediakan bale-bale untuk istirahat. Sambil menikmati kopi, ada view pemandangan yang indah, ada jeda waktu sejenak untuk melarikan diri dari persoalan jalan yang rusak parah, disamping meluruskan pinggang yang pegal dihentak jalan rusak di atas motor.

Siang itu, mungkin karena kelelahan, saya tertidur hingga dua jam. Ketika terbangun, saya bayar kopi dan berencana melanjutkan perjalanan. Namun, betapa terkejutnya saya, harga kopi yang harus saya bayar, naik. Tidak seperti hari-hari biasanya. Saya tetap bayar dan mengucapkan terima kasih, meski dalam hati dongkol.

Setibanya ditempat tujuan, saya berpikir ulang. Tak sepatutnya saya dongkol, tokh kenaikan harga kopi, tak sebanding dengan nikmatnya saya tidur selama dua jam jika harus dihitung dengan nominal uang, ada jaminan bahwa motor saya aman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline