Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Anak-anak Meniti Masa Depan di Film Religi

Diperbarui: 5 April 2023   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

El Manik sebagai sang guru di Titian Serambut Dibelah Tujuh. Foto: Capture dari YouTube Chaerul Umam

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

Riang Gembira Bersama Guru

Itu adalah petikan sajak Di Tangan Anak-Anak, karya Sapardi Djoko Damono.  Sajak tersebut dilansir majalah sastra Horison edisi September, 1981. Ia kerap disapa SDD, sebagai akronim namanya.  Menyandang gelar Prof. Dr., Sapardi Djoko Damono menjadi tenaga pengajar di Universitas Indonesia (UI) hingga pensiun.

Segalanya bisa menjelma Di Tangan Anak-Anak, sebagaimana dinarasikan Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya. Pendekatan yang luwes serta pemahaman yang dalam tentang dunia anak-anak, itulah salah satu sisi kehidupan yang dieksplor film Titian Serambut Dibelah Tujuh, melalui sosok Ibrahim.    

Ya, Ibrahim, namanya. Ia duduk lesehan bersama anak-anak dan bercerita tentang Nabi Muhammad. Kisah Rasul itu, ia tuturkan dengan ekspresi sekaligus artikulasi yang keren, sebagaimana layaknya seorang aktor jempolan di panggung teater. Anak-anak tersebut mendengarkan dengan penuh takjub, hanyut dalam alur kisah, dan tertawa riang-gembira.

Suasananya, sangat akrab. Padahal, Ibrahim adalah seorang guru mengaji dan anak-anak tersebut adalah murid-muridnya. Ibrahim mengenakan peci hitam, tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia berkemeja lengan panjang dan bercelana panjang. Tidak bersarung. Tidak bersorban. Tidak membawa tasbeh.

Begitulah sosok guru mengaji bernama Ibrahim, yang ditampilkan dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Bahkan, setelah kegiatan mengaji itu selesai, tidak ada adegan murid-murid itu menyalami serta mencium tangan sang guru. Mereka beriringan meninggalkan tempat mengaji, kemudian beriringan pula berjalan kaki menyusuri jalanan dengan penuh akrab.

Guru mengaji itu menyatu dengan murid-muridnya. Di satu titik, seorang murid bernama Saleh, menawarkan sang guru untuk singgah ke rumahnya. Ibrahim pun mampir. Orang tua Saleh dengan penuh rasa hormat menyambut serta menyalami sang guru. Mereka berkenalan serta berbincang-bincang akrab.

Dakwah Secara Alamiah

Bagi saya, sepotong adegan film Titian Serambut Dibelah Tujuh tersebut, sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa itu adalah film religi. Film ber-genre dakwah agama Islam. Film yang disutradarai oleh Chaerul Umam tersebut, dirilis tahun 1982. Asrul Sani sebagai penulis skenarionya, meraih penghargaan Skenario Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1983 untuk film itu.

Film ini menampilkan aktivitas dakwah secara alamiah, sangat natural. Baik dalam dialog, kostum, maupun pengadeganan. Nyaris tidak ada hal-hal yang bombastis. Judulnya pun Titian Serambut Dibelah Tujuh, sangat puitis. Tanpa dilabeli simbol-simbol kereligian, sebagaimana yang ditampilkan film-film bertema religi belakangan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline