Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

[Hari Air Dunia] Bersama Palyja, Bersama Demi Air

Diperbarui: 22 Maret 2016   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Inilah rangkaian serta deretan bak-bak beton yang dilalui air baku, sebagai salah satu tahapan dalam pemrosesan air, di IPA 1 Palyja, Pejompongan. Di antara rasa terkejut dan tercengang, kami juga tersadar: alangkah panjang waktu dan mahal biaya yang harus dikeluarkan, untuk mendapatkan air bersih layak minum. Foto: kompasiana.com"][/caption]Hampir 80 persen tubuh kita terdiri dari air. Tiap hari, kita membutuhkan 100 liter air. Hari ini, Selasa (22/3/2016), kita peringati sebagai Hari Air Dunia. Mari berkunjung ke PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), penyedia 17.000 liter air per detik, untuk lebih dari 3.000.000 warga Jakarta.   

Air memang penuh makna. Kemarin, Senin (21/3/2016) siang, kami, 30 Kompasianer, melangkah memasuki halaman kantor Palyja. Pepohonan hijau yang tumbuh di seputar halaman kantor itu, sungguh menyejukkan mata. Dan, ada air mancur yang gemericik, ditingkahi rinai hujan, yang perlahan menyeka debu bumi siang itu. Kantor Palyja yang kami kunjungi adalah Instalasi Pengolahan Air (IPA) 1 Palyja, di Jl. Penjernihan 1 No. 1, Pejompongan, Jakarta Pusat. Di ruang Tirta Ananta, yang berada di lantai dua kantor tersebut, kami berkumpul. Dari lantai dua itulah kami tahu, ternyata kawasan IPA 1 Palyja ini sangat luas, mencapai 5 hektar.

4 Jam Siap Minum

Rintik hujan masih terasa, mengantarkan rindu langit pada bumi. Kami berdiri di titik awal masuknya air ke area Instalasi Pengolahan Air, yang berjarak sekitar 200 meter dari ruang Tirta Ananta. Untunglah kami dibekali helm proyek warna hijau oleh Pak Khamid, sebagai pelindung kepala. Ia memandu kami, menyusuri tahap demi tahap pengolahan air di instalasi tersebut. Pak Khamid ini adalah salah seorang yang bertugas mengawasi pengolahan air di IPA 1 Palyja, Pejompongan. ”Seperti inilah kondisi air yang diolah Palyja, untuk diproses menjadi air yang siap minum. Ini disebut air baku, bahan baku Palyja,” ujar Pak Khamid menerangkan.

[caption caption="Selain melalui deretan bak demi bak, air baku tersebut juga menempuh jalan-jalan berliku dalam rangkaian pipa yang ada di IPA 1 Palyja, Pejompongan. Menyaksikan secara langsung proses untuk mendapatkan air bersih ini, rasanya tidak tega membiarkan setetes air pun terbuang percuma. Seluruh tahapan proses yang berlangsung di IPA 1 Palyja, Pejompongan, membutuhkan waktu selama 4 jam. Foto: kompasiana.com"]

[/caption]Kami tercengang sekaligus kaget. Karena, seperti yang kami lihat, air baku itu berwarna kecoklatan, keruh. Persis seperti air sungai pada musim hujan, yang bercampur dengan lumpur halus. Air itu berasal dari Waduk Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Lokasi waduk tersebut sekitar 100 kilometer dari Jakarta. Dari sana, air baku dialirkan melalui Bekasi, kemudian masuk ke Kali Malang, Jakarta Timur. Seperti apa kondisi air yang kita lihat di Kali Malang ya seperti itulah air baku Palyja. Kali Malang itu mengalir menuju Cawang, Jakarta Timur. Nah, di Cawang ada pompa ukuran besar, yang memompakan air baku tersebut melalui pipa, hingga akhirnya tiba di IPA 1 Palyja, Pejompongan.

Perjalanan air baku melalui pipa dari Cawang ke Pejompongan, sekitar 3 jam. Air baku itu langsung memasuki area Instalasi Pengolahan Air, selanjutnya mengalir melalui bak beton demi bak beton, yang sudah dilengkapi filter demi filter. Air baku tersebut juga menempuh jalan-jalan berliku melalui pipa yang ada di  IPA 1 Palyja, Pejompongan. Ada sejumlah tahapan yang harus dilalui air baku hingga menjadi air bersih siap minum. Dimulai dengan tahapan Pra-Klorinasi untuk proses Pra-Sedimentasi, kemudian Pencampuran Bahan Kimia untuk proses Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi, dan Filtrasi, serta tahap Post Klorinasi atau Disinfeksi di Reservoir.

Seluruh tahapan tersebut berlangsung di IPA 1 Palyja, Pejompongan, selama 4 jam. Di tiap tahap, Pak Khamid dengan telaten menjelaskan serta menunjukkan perubahan yang sudah terjadi pada air, dibandingkan dengan kondisi air semasa berupa air baku. Kami memang baru pertama kali melihat pemrosesan air seperti ini. Di antara rasa terkejut dan tercengang, kami juga tersadar: alangkah panjang waktu dan mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air bersih layak minum. Diam-diam, kami merasa malu, karena selama ini kerap menyia-nyiakan air bersih. Kadang tidak terlalu rapat menutup keran. Kadang dengan cuek meninggalkan gelas minuman, padahal baru diminum seteguk-duateguk.

[caption caption="Pak Khamid, ber-helm putih, dengan telaten serta sabar menjelaskan kepada kami tahap demi tahap pemrosesan air. Ia mengaku senang berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang air kepada masyarakat. Pak Khamid berharap, dengan mengetahui pemrosesan air, masyarakat akan tergugah untuk tidak membuang limbah ke sungai, agar kondisi air di sungai layak dijadikan sebagai air baku. Juga, agar publik senantiasa hemat menggunakan air. Foto: kompasiana.com"]

[/caption]13 Sungai Besar Tercemar

Hampir satu jam Pak Khamid memandu kami berkeliling, mencermati tahap demi tahap pemrosesan air tersebut. Tanpa terasa, ia sudah mengajak kami mengitari area IPA 1 Palyja, Pejompongan, sekitar 500 meter perjalanan. Lelah? Tentu saja, tidak. Karena, kami memperoleh pengetahuan yang berharga tentang seluk-beluk air. Bukankah air adalah salah satu komponen penting bagi kehidupan? Bukankah hampir 80 persen tubuh kita terdiri dari air? Ketika kembali berkumpul di ruang Tirta Ananta, kami dikejutkan oleh paparan Pak Budi Susilo, Direktur Customer Service Palyja.

Pria yang kalem tersebut, dengan suara yang juga kalem, mengatakan, ”Ada 13 sungai besar yang melintasi wilayah Jakarta. Semua itu sebenarnya potensi yang berlimpah, sebagai sumber air baku bagi Palyja. Sayang, semua sungai itu sudah tercemar, hingga kondisi airnya tidak layak untuk dijadikan air baku.” Semua diam, seakan tak percaya. Pak Budi Susilo menambahkan, jika saja air sungai Ciliwung, misalnya, layak untuk dijadikan air baku, maka Palyja tidak perlu jauh-jauh mendatangkan air baku dari Waduk Jatiluhur, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Jakarta.

Kami tertegun. Tercemar? Karena limbah pabrik kah? Ternyata, bukan. Justru, ke-13 sungai besar tersebut tercemar oleh limbah domestik, limbah rumah tangga. Ibu Meyritha Maryanie, Corporate Communication & Social Responsibilities Head Palyja, menjelaskan, kebiasaan masyarakat membuang limbah rumah tangga ke sungai, itulah yang terutama mencermarkan sungai-sungai tersebut. Sampai tahun 1997, air sungai yang mengalir ke Jakarta, masih bisa dikatakan layak untuk dijadikan air baku. Namun, setelah tahun tersebut, praktis sudah tidak bisa diolah lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline