Lihat ke Halaman Asli

Isma Soekoto

penulis, penerjemah

Camer

Diperbarui: 27 Februari 2024   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Camer

                                     

          Memang susah kalau punya pacar berstatus sosial lebih tinggi. Tapi kalau cinta sudah melekat, naik beca pun berasa naik mercy.

          Aku ngga heran kalau banyak orang berkomentar miring jika melihat seorang model yang wangi berjalan menempel lengket dengan seorang kuli tinta dengan jaket kulit bau keringat jin dan topi baseball lusuh. "Gila ! Apa sih yang dilihat Chacha pada dirimu, Mo ?" Itu adalah lagu yang paling sering kudengar. Tapi ada loh, yang lebih sadis lagi. "Moga-moga anak kalian secantik ibunya dan sepintar kamu, jangan sampai sebaliknya !! Aduuu ...h, God forbids, amit-amit!"  Paling-paling aku hanya bisa nyengir monyet mendengar itu semua.

          Aku sih tetap merasa nyaman-nyaman saja . Yang penting, Chacha senang bersamaku. Si Jelita itu ngga masalah kuantar ke malam gala naik jeep Rusia tuaku. Divaku itu juga ngga protes dengan baju 'dinas'ku. Bahkan katanya, aku bukanlah Bimo pacarnya, jika tidak seperti ini. Pokoknya aku yakin, Chacha bangga berjalan sambil bergelayutan aleman pada lenganku.

          Sampai pada suatu malam, di depan dua batang lilin yang menyala di atas meja makan, Chacha mengucapkan kata-kata lembut tapi terdengar menggelegar di telingaku.

          "Mas Bimo, Mama sama Papa mau ketemu ....."

          Aku seperti tercekik. Pasti sekerat daging ikan tuna yang lembut itu menyangkut di tenggorokanku yang tiba-tiba menyempit saking shocknya.

          Mereka, camerku itu, tentu saja bukanlah monster. Aku sudah pernah melihat foto mereka. Aku juga sudah pernah bicara lewat telepon dengan mamanya Chacha ketika aku menelepon ke rumahnya. Suara mamanya lembut seperti suara Chacha, jadi aku membayangkan kelembutan hatinya juga. Moga-moga. Tetapi dari foto papanya, beliau ini tampak streng. Apa lagi dengan kumis jampangnya. Maklumlah oom ini seorang pati ! Moga-moga (lagi) beliau ngga segarang kumis baplangnya.

          "Bisa, Mas ?" tambah Chacha dengan manis sambil menyentuh tanganku di atas meja.

          Aku hanya bisa mengangguk. Siapa takut ?! kataku dalam hati walau dengan agak gemetar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline