Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Daerah Istimewa Minangkabau, Sekadar Wacana?

Diperbarui: 5 Februari 2021   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. infosumbar.net

Meskipun saya sudah sejak tahun 1986 memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, tapi kecintaan saya terhadap daerah kelahiran, Sumatera Barat, tidak pernah berkurang.

Saya tidak pernah ragu mengaku sebagai orang Minang. Saya sengaja menekankan "Minang", bukan "Padang", karena saya tahu, bagi banyak warga Jakarta, semua orang Minang dianggap sebagai orang Padang.

Padahal, Padang hanyalah satu di antara belasan kota yang ada di Sumatera Barat. Tapi, Padang memang kota terbesar di sana dan sekaligus sebagai ibu kota  provinsi. Hanya saja, kota kelahiran saya bukan Padang, tapi Payakumbuh, yang terletak 125 km di utara kota Padang.

Saya sama sekali tidak terganggu, meskipun teman-teman saya sering bercanda dengan mengatakan "Padang Bengkok", yang artinya kira-kira orang Minang dianggap tidak jujur atau culas.

Tidak jelas, apakah istilah yang sebetulnya menyakitkan bagi orang Minang itu berawal karena perbuatan sebagian perantau yang tidak elok. Saya menduga-duga saja, mungkin dulu (jangan-jangan sampai sekarang) para pedagang asal Padang yang jumlahnya memang banyak di Jakarta, sebagian kurang jujur kepada pelanggannya.

Namun demikian, saya mengambil sisi positifnya, dengan berusaha menunjukkan ke teman-teman saya di kantor bahwa saya tidak "bengkok". Saya yakin, pada setiap etnis selalu saja ada orang yang berperilaku buruk, tapi juga ada yang berperilaku baik. Tidak bisa main pukul rata begitu saja.

Terlepas dari citra urang awak yang kurang bagus seperti itu, saya ingin bernostalgia, betapa dulunya orang Minang telah memberikan kontribusi amat besar bagi terbentuknya Republik Indonesia. Gudang intelektual tempo dulu itu, selain dari etnis Jawa yang mayoritas, ya dari etnis Minang, meskipun jumlah orang Minang hanya sekitar 3 persen dari penduduk Indonesia.

Tanpa bermaksud untuk membangga-banggakan, boleh dikatakan bahwa orang Minang zaman dulu itu terbilang istimewa. Banyak yang jadi tokoh politik, ulama, sastrawan, wartawan, pada era menjelang proklamasi kemerdekaan hingga beberapa tahun setelah itu.

Sekadar menyebut sejumlah nama yang terlintas di benak saya (tanpa googling), sosok yang membanggakan orang Minang dimaksud antara lain Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, M. Natsir, M. Yamin, Tan Malaka, Buya Hamka, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Djamaludin Adinegoro, Rosihan Anwar, Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah, M. Sjafei, PK Ojong, dan pasti masih banyak lagi yang lainnya.

Tokoh Minang zaman sekarang? Nah, itu dia yang saya bingung, sekadar mencari lima nama saja, susahnya minta ampun. Yang jadi pemikir, budayawan, sastrawan, ulama besar, semuanya terlalu tinggi untuk digapai orang Minang. Memang ada nama Fadli Zon, Karni Ilyas (siapa lagi, ya?). Itu pun mungkin sebagian orang tidak menyukai gaya Fadli Zon. 

Soal adat istiadat, konon orang Minang memegang teguh "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah". Namun, mohon maaf, begitu banyak kasus kriminal di Sumbar, tentu si pelaku tidak saja melanggar hukum, tapi juga tidak dibenarkan menurut adat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline