Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Pilkada Serentak Dibayangi 4 Kerugian Besar

Diperbarui: 24 September 2020   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga menunjukkan contoh surat suara saat simulasi pemungutan suara pemilihan serentak 2020 di Jakarta, Rabu (22/7/2020). Simulasi tersebut digelar untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait proses pemungutan dan penghitungan suara Pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan COVID-19. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI via Kompas.com)

Imbauan banyak pihak, termasuk dari mantan Wapres Jusuf Kalla, ternyata tidak mengurangi "kekerasan kepala" pemerintah, DPR, dan KPU, untuk tetap menggelar Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.

Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri (UNI) Syarif Hidayatullah Jakarta, barangkali saking kesalnya, menyatakan akan golput di pilkada serentak tersebut.

Keprihatinan Azyumardi sangat jelas alasannya, seperti tercantum pada akun Twitter-nya. Golput ia maksudkan sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah corona atau terkonfirmasi Covid-19.

Seperti diketahui, jumlah korban meninggal karena Covid-19 semakin besar, yang hingga Rabu (23/9/2020), menurut data resmi dari tim yang dibentuk pemerintah, secara nasional tercatat 9.977 orang. Dengan dilaksanakannya Pilkada, jelas berpotensi meningkatkan jumlah korban tersebut.

Maka sangat mungkin tidak hanya Azyumardi yang golput. Mereka yang berusia di atas 60 tahun yang merasa khawatir akan tertular dari kerumunan massa saat berlangsung pencoblosan, boleh jadi memilih berdiam diri di rumah masing-masing.

Memang, tokoh publik yang dengan tegas menyatakan akan golput, belum banyak. Sebelumnya, ada ancaman lain di sejumlah daerah yang hanya memunculkan pasangan calon (paslon) tunggal, di mana sebagian warga menyatakan akan memilih kotak kosong. Menurut data KPU, pada Pilkada serentak tahun ini, terdapat 25 paslon tunggal yang tersebar di 25 kabupaten/kota.

Memilih kotak kosong dan golput merupakan dua hal yang berbeda, namun dua-duanya bisa dikatakan sebagai ungkapan kekecewaan rakyat. Bahkan kalau mau istilah yang lebih keras, hal ini merupakan pemboikotan Pilkada Serentak.

Paslon tunggal merupakan cerminan gagalnya parpol menangkap aspirasi masyarakat sehingga semua parpol kompak mengusung satu paslon yang belum tentu figur yang berkualitas yang diidamkan masyarakat setempat. Sekiranya paslon tunggal kalah dari kotak kosong, maka akan dilakukan Pilkada ulang, yang jelas membutuhkan anggaran lagi yang tidak sedikit.

Sedangkan mereka yang golput memilih tidak ikut berpartisipasi dalam Pilkada. Hal ini semacam protes atas tidak tanggapnya pemerintah dan pihak lain terkait dengan kerawanan kondisi pandemi saat ini. Seolah-olah atas nama demokrasi, yang sebetulnya juga demi memenuhi syahwat politik paslon dan parpol pendukungnya, rakyat banyak dikorbankan.

Pemerintah berdalih bahwa para petugas akan menerapkan protokol kesehatan yang amat ketat pada Pilkada Serentak itu. Tapi bagaimana rakyat bisa percaya, bila Ketua KPU Pusat saja terkonfirmasi positif Covid-19. Belum lagi komisioner KPU di berbagai daerah.

Bila persentase yang golput lebih besar dari suara yang diraih paslon pemenang, secara ketentuan tidak menggugurkan kemenangan si paslon. Tapi jelas, kemenangannya tersebut tidak mendapat dukungan mayoritas rakyat. Secara formal sah, tapi kepercayaan masyarakat terlanjur hilang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline