Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Konflik Kepentingan Ibarat Kentut, Tercium tapi Tak Terlihat

Diperbarui: 23 April 2020   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.situsekonomi.com

Pengunduran diri Staf Khusus Presiden, Aldamas Belva, yang juga Chief Executive Officer (CEO) penyedia aplikasi Ruangguru, memberikan pelajaran berharga. Betapa tidak gampangnya mengelola konflik kepentingan bagi para pejabat pemerintah yang juga terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam urusan bisnis.

Tapi sebetulnya ada banyak konflik kepentingan yang lebih tersamar, bahkan dengan bahasa yang agak vulgar, boleh dibilang ibarat kentut, berbau namun tidak terlihat. 

Ini terjadi bila si pejabat pengambil keputusan tidak mempunyai perusahaan, tidak pula terdaftar sebagai pengelola peusahaan, tapi order dari si pejabat banyak ditujukan pada sebuah perusahaan tertentu saja.

Kenapa begitu? Alasan formalnya karena perusahaan itu yang paling bagus nilainya dibandingkan beberapa perusahaan sejenis lain, dalam memasok berbagai barang yang diperlukan di kantor yang dipimpin si pejabat.

Namun kriteria penilaian seperti itu, anggaplah proses pengambilan keputusannya sudah melewati tender, bahkan memakai aplikasi e-procurement yang katanya lebih obyektif, tetap bisa "diatur".

Sebetulnya konflik kepentingan tidak hanya melanda instansi pemerintah, di lingkup Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga perlu untuk diteliti, siapa tahu tidak berbeda jauh.

Baik di kantor pemerintah, maupun BUMN, bagian yang membidangi logistik adalah salah satu bagian yang rawan dengan konflik kepentingan. Contohnya, untuk biaya percetakan formulir, anggaplah untuk 1.000 lembar, logikanya tidaklah memakan biaya yang besar. 

Tapi bayangkan bila itu terjadi di sebuah BUMN yang punya kantor cabang di semua kota dan kabupaten, dan 1.000 lembar itu hanya untuk kebutuhan satu cabang selama sebulan saja. Hitung sendiri berapa nilai proyeknya selama satu tahun secara nasional.

Itu baru urusan percetakan. Bagaimana kalau pengadaan personal computer, laptop, pembelian atau pemeliharaan kendaraan dinas, pembangunan atau renovasi gedung kantor dan rumah dinas, dan masih banyak lagi urusan belanja perusahaan yang ditangani oleh bagian atau divisi logistik.

Bisa jadi sekarang ini informasi tentang harga barang sudah gampang didapat, sehingga kalaupun mau di-mark up, tidak bisa besar-besar amat. Tapi kalau jumlah yang dibeli sangat banyak, karena untuk kebutuhan semua kantor cabang, bukankah secara total akan signifikan jumlahnya?

Apalagi bila barang yang dibeli bersifat intangible atau tidak kasat mata. Hal ini sangat rawan disulap angkanya jadi berlipat dua atau tiga. Contohnya bila perusahaan membutuhkan perusahaan jasa yang mampu membuat software atau aplikasi yang dirancang secara khusus buat perusahaan yang memesan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline