Acara Mata Najwa di Metro TV tadi malam (Rabu 25 Juni), sungguh menarik. Plt Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tampil sebagai tamu utama, karena dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun Kota Jakarta. Ahok, sebagaimana biasa, tampil ceplas-ceplos, spontan menjawab pertanyaan dengan lugas, tanpa istilah "tinggi".
Sewaktu Ahok ditanya,kenapa daya serap anggaran di DKI demikian rendah, bahkan disebut sebagai terburuk dalam 30 tahun terakhir, sehingga banyak proyek terbengkalai, Ahok menjawab justru ini yang paling tertib. Buat apa daya serap anggaran tinggi kalau akhirnya menjadi sumber korupsi. Ahok mencontohkan pembelian kursi-meja untuk sekolah-sekolah yang sebetulnya yang lama masih layak, dibeli lagi yang baru. Kemudian, Ahok juga punya kebijakan, sebelum anggaran dicairkan, harus dibuat harga satuan yang benar, bukan yang disetir oleh para rekanan. Ini yang butuh waktu.
Terlepas dari masalah di atas, perlu suatu indikator yang pas tentang menilai efektivitas penggunaan anggaran, baik di level APBN, APBD maupun di level perusahaan milik negara yang disebut dengan RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan). Ini memang suatu dilema, anggaran yang tidak cair, telat dieksekusi, bisa memperlambat putaran roda perekonomian. Namun, anggaran yang cepat cair dengan harga mark-up dan menguntungkan pihak tertentu, membeli barang dengan jumlah besar yang akhirnya tidak terpakai, membeli barang yang tidak sesuai spesifikasinya, dan membangun gedung atau infrastruktur dengan mutu asal-asalan, akhirnya malah lebih merugikan lagi. Mending anggarannya ditabung sebagai penambah untuk periode berikutnya. Idealnya tentu daya serap yang tinggi sekaligus bebas korupsi. Tapi ini sungguh tidak gampang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI