Lihat ke Halaman Asli

Adipati Karna: Perang Atas Nama Tanah

Diperbarui: 14 Oktober 2023   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adipati Karna (Sumber -kibrispdr)

Di hujung timur itu, matahari siang tampak indah bercengkrama dengan laut biru,buah -buahan  yang manis dengan seonggok harapan menyatu dan menggema dalam kedamaian, perjalanan yang memukau dalam narasi kehidupan, bagai cerita yang tak pernah pudar dan selalu hadir menghiasi hikayat cinta sejati, dengan ribuan dedaunan untuk menggapai sejumlah senyuman dengan rumah idaman. Sang lubuk hati.

Itulah gambaran awal kisah -kisah cinta  kehidupan, yang memukau bila diceritakan  untuk memberikan makna, yang mungkin bisa diteladani oleh mereka yang mendambakan cinta.  Sang Adipati karna adalah contoh penganut cinta sejati pada persahabatan, dia setia akan sosok yang pernah mengangkatnya dari kubangan lumpur nista diangkat menjadi Raja di negeri Awangga. ,Di hari keenam belas perang mahabarata telah berkobar, dia ditunjukk oleh Duryodana  menjadi Senapati yang akan bertarung dengan Pandawa lima. Khususnya Arjuna, besok adalah hari terakhir, Arjuna yang mati atau aku, katanya dalam hati, perang telah berkobar untuk menggapai ambisi, perebutan kekuasaan atas tanah' teritorial kerajaan, ambisi  saling memusnahkan tak pernah padam, saling menyulut terjadi perang.

Karna tersenyum, kini saatnya membalas kebaikan yang diberikan Duryodana selama ini, Hidup atau mati menjadi tidak penting, yang penting dia sudah melunasi hutangnya atas kebaikan Duryodana sang raja padanya. Lalu dia memandang keanehan dirinya, dan manusia lain.  Hidup diliputi kebencian untuk saling membunuh, Keluarga berperang, tak mengindahkan saudar, sahabat, kerabat, paman. Perang saudara.  Hanya berhambisi memperebutkan ha katas tanah, yang sejatinya tidak bisa dibawa mati. Dia tersenyum ada dibalik perang itu,  Aku tersandra atas mahkota yang diahdiahkan oleh Duryodana. Aku bahagia  selama ini, bisa menginiasia agar kebenaran tetap tegak, serta keburukan dan kebencian cepat berakhir, sehingga kemenangan ada di pihak yang benar. Aku percaya sekarang katanya, bahwa Perang adalah kekalahan bagi kemanusiaan.  Hanya orang mati yang telah melihat akhir dari perang.

 Karna terus memebangun imajinasi kreatif , menerawang ke wilayah lain, kegelisahannya terus membumbung keangkasa raya, ingin dia bertemu dengan ayahnya, Dewa surya, yang rela menitipkan benih pada Ibu dewi Kunti, namun apa daya, perkawinan dewa dengan sosok manusia, tak pernah bisa diamini oleh manusia nyata. Jadilah benih itu terlunta-lunta, karena protes atas semua ini. Karena yang menderita adalah anak dari hasil cinta yang mungkin gelap, sehingga  kini hidup nya tak banyak yang bisa menerima dirinya, banyak celaan dan hinaan diantara para ksatria

Karna, dalam benaknya bergulir pikiran, " Kalau aku mati, artinya, aku  menganggapnya telah tenggelam  dulu Ketika aku bayi, dibuang oleh Ibu Kunti ke aliran sungai  Gangga  itu, kehadiranku memang tak diharapkan demi sebuah kehormatan. Aku menghormati keputusan itu, namun aku heran kenapa aku masih bisa selamat, Apakah ada tugas lain?  Karna menerawang memandang angkasa  yang semakin gelap dengan kehadiran bintang gemintang di langit.

Karna, lalu membayangkan dirinya tenggelam dalam air, lalu jiwanya Bersatu melayang, ke angkasa menuju alam keabadian ing, lalu, di tersadarkan, bahwa dia masih memiliki badan, yang masih tersisa, jiwanya masih terkurung dengan badan jasmani, besok badan ini akan lepas atau mampu masih tetap bertahan hingga waktu lebih lama, entahlah.

Lalu matanya diarahkan pada medan kurukshetra, ladang tandus sebagai sakasi bahwa perang menyisakan sebuah pemandangan yang mengerikan akan kematian, Puing-puing senjata dan api yang besar terus menyala, bekas dibombardir oleh dua pasukan yang siang tadi berperang. Perang hanya menghasilkan kesedihan, dan air mata duka istri dan anak-anak yang kini menjadi janda, yatim piatu dan menjanda. Oh... manusia, menjadi  buas terhadap sesamanya, dia menjadi sosok yang dikatakan  homo homililupus. Benar-benar nyata.

Saat itu Istri Karna, Dewi Surtikanti,  mendekat, dia bersamanya di tenda, dia berucap lembut, " Kanda Karna, suamiku yang gagah, engkau adalah Raja Angga,   Engkau sebagai putra dewa matahari,  Surya, tak ada yang bisa mengalahkanmu, sayang, percayalah, engkau akan menang esok hari

Engkau memiliki sahabat yang hebat, aku sangat mencintaimu, sebab Cinta, itu memiliki kisah dan mungkin hikayat yang menjadi warna tersendiri tentang cinta kita.  Pun, mencintai tanpa lebih dulu mencintai diri sendiri, tidak pernah berakhir indah. Maka, kali lain aku jatuh cinta, aku akan lebih dulu menyadarkan diri sendiri.  Hatiku harus lebih hati-hati untuk memotivasimu disaat genting seperti ini.

Istriku, Surtikanti engkau, selalu hadir dalam lamunanku, engkau adalah sosok yang selalu setia menemaniku, sayang, puji Karna pada sang istri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline