Lihat ke Halaman Asli

Menjemput Pelangi Melalui Bidikmisi

Diperbarui: 30 Mei 2020   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku masih sama, belum berubah. Usiaku sekarang tidak jauh dari angka dua puluh. Sekitar sembilan belas tahun dua bulan sekian hari. Usiaku yang setua itu tidak mungkin aku masih memiliki hobi bersembunyi di balik ketiak ibuku. 

Sementara ayahku berada di ruang yang jauh dariku. Dia adalah satu-satunya orang jahat yang pernah aku kenal. Dia membiarkanku tumbuh tanpa ada dia di sampingku.

Ah, tidak begitu. Ayahku adalah seorang bapak yang bertanggung jawab. Justru akulah yang keterlaluan jahatnya bila aku menghakiminya sebagai ayah yang takbaik. Ayahku seorang pedagang di sebuah pasar di Kota Tangerang. Beliau cukup terbilang jarang pulang.

Kadang-kadang dua atau tiga bulan sekali, empat bulan bahkan lebih. Hal itu karena bapak menghemat biaya transportasi Cilacap-Jakarta yang tidak dekat. Jadi, dipuaskannya kerinduan pada keluarga cukup dengan membayangkan saja. Begitu juga denganku.

Hidupku berjalan fluktuatif seakan tengah mendaki gunung dan sesekali harus melewati lembah. Tidak pernah stabil. Ibuku memberikan kebebasan padaku untuk boleh melakukan apapun yang aku mau. Menyenangkan memang. Tidak semua temanku mendapatkan posisi yang strategis dalam garis aturan keluarganya. Akan tetapi, pun aku tidak sebebas yang aku bahkan orang-orang bayangkan.

Setiap aku akan melakukan apa saja, aku selalu meminta izin. Hal itu adalah tradisi yang ibu ajarkan padaku dan juga kakak. Dan kami berdua tidak protes dengan budaya semacam itu.

Setiap kali aku melayangkan izin, ibu selalu berpesan, "Jangan pernah tidak takut". Kalimat itu membuat kebebasan yang berlaku untukku melebur menjadi batasan-batasan yang nyaris mengekangku.

Kakak yang akrab kusapa Mas Yayan adalah tangan kanan ibu yang bersedia bekerja tanpa digaji untuk ekstra mengawasiku. Kekhawatiran ibu akan ini dan itu kadang kala sangat berlebihan. Akan tetapi aku paham, wajar saja seorang ibu bersikap demikian. Karena aku seorang perempuan.

*****

Aku baru saja jatuh dari ketinggian mimpi-mimpiku. Aku menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi dengan masa depan yang aku sama sekali tidak tahu akan bagaimana muaranya. Aku gagal dan menyesal. Aku tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Aku melanggar janjiku pada ibu untuk "Jangan pernah tidak takut". Aku terlalu berani mengambil risiko terburuk untuk jatuh dan kesakitan. Aku makhluk tidak tahu diri.

Masa esemaku sudah berakhir. Ibu yang akrab kusapa dengan sebutan umi sepenuhnya mendukungku untuk melanjutkan studi ke universitas manapun yang aku ingini. Meski begitu, umi tidak pernah lupa menegaskan janjiku sebagai seorang anak kepada ibu yang telah melahirkanku. Kalimatnya masih sama, "Jangan pernah tidak takut".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline