Lihat ke Halaman Asli

Istudiyanti Priatmi

Fortiter in re, suaviter in modo (Claudio Acquaviva, SJ)

Kasus Janda Meggy: Masa Iddah dan Perspektif Gender

Diperbarui: 22 September 2020   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Satu Bulan Resmi Cerai dengan Kiwil, Meggy Wulandari Sudah Nikah Lagi?", demikian bunyi berita di media televisi dan online yang saya baca.

Bila mencermati kasus Meggy v Kiwil, maka kita harus mengacu pada keputusan Pengadilan Agama Cibinong, Jawa Barat, yang mensahkan perceraian Meggy dan Kiwil sejak 10 Agustus 2020.

Di tanggal ini yang merupakan tanggal jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, lantas menjadi titik penting dimulainya perhitungan masa iddah. Ditengarai Meggy telah melangsungkan pernikahan di tanggal 19 September 2020, artinya 50 hari bercerai Meggy sudah melaksanakan perkawinan dengan lelaki lain.

Dalam berita, artis tersebut menyatakan perkawinannya adalah resmi. Publik yang kepo lantas bertanya-tanya, "Kok bisa yaa, khan belum selesai masa iddah, belum 3 bulan atau sekurang-kurangnya 90 hari?" Hal ini sejalan dengan aturan masa iddah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku umum dan luas di Indonesia.

Masa Iddah adalah waktu tunggu atau iddah bagi seorang istri yang putus perkawinannya, demikian KHI pasal 153 ayat (1). Sementara masa iddah atau waktu tunggu diatur dalam ayat (2) sebagaimana berikut:

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

  • Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  • Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
  • Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  • Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Dengan aturan masa iddah di atas, maka seorang pria dilarang menikah dengan perempuan yang masih berada dalam masa iddah. Sementara ayat (4) menyatakan: bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Kompilasi Hukum Islam dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991 berdasar Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Presiden yang menandatangani adalah bapak Soeharto berdasar Loka Karya para Alim Ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 -- 5 Februari 1988 yang terdiri dari 3 buku yaitu:

  • Buku I tentang Hukum Perkawinan;
  • Buku II tentang Hukum Kewarisan;
  • Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Dinyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah sesuai 3 buku di atas. Tidak terdapat ancaman pidana atau perdata atas penyimpangan pasal-pasal dalam KHI.

KHI pasal 153 ayat (2) memang menyatakan masa iddah janda adalah 3 kali masa suci (sedang tidak menstruasi) atau sekurang-kurangnya 90 hari. Bagi janda yang sudah tidak menstruasi, karena sebab menopause atau sebab gangguan hormonal /penyakit adalah 90 hari. 

KHI merupakan pedoman bagi permasalahan perkawinan di Indonesia, namun pasal 153 tidak menjelaskan detil, apakah proses cerainya talak atau gugat cerai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline