Lihat ke Halaman Asli

Inspirasiana

TERVERIFIKASI

Kompasianer Peduli Edukasi.

Deni dan Lautan

Diperbarui: 9 November 2021   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perahu nelayan dan lautan | Dokumen pribadi milik Indra Rahadian

Aku tak suka ketinggian, itu sebabnya aku menyukai lautan. Menatap ombak berkejaran, dan membenamkan kerinduan di batas cakrawala. Di langit sore, mungkin kau cuma melihat senja kemerahan. Namun di mataku, itulah kenangan yang timbul tenggelam. Bersama kerinduan yang tak pernah padam.

"Cita-citamu boleh setinggi langit. Ilmu yang kau tuntut, boleh sedalam lautan. Namun hatimu harus tetap membumi."

Kata-kata bapak masih kuingat. Begitu banyak harapan yang tertinggal. Dan di tanganku, semuanya harus terwujudkan.

Tali jaring tanpa sengaja menggores telapak tangan. Lamunan tentang bapak mengalihkan semuanya. Kerinduan yang muncul setiap menatap lautan. Do'a pun bergulir bersama ombak yang berkejaran.

Bang Imron melemparkan lap ke arahku. Isyarat untuk segera membersihkan tetesan darah di tangan. Malam ini kami akan berlayar menangkap ikan. Kulihat keyakinan penuh pada raut wajahnya. Dia hafal betul waktu terbaik menangkap ikan.

Bang Imron kami anggap saudara, ia sudah puluhan tahun ikut mendiang bapak melaut. Menjadi penolong keluarga kami yang tulus. Mengambil tanggung jawab itu sejak bapak tiada.

Dan hari di mana ia tak menemani bapak melaut, hari itu bapak dinyatakan hilang dan tak kembali. Perahunya berhasil ditemukan. Namun tidak dengan bapak. Ingatan tentang hari itu selalu ingin kuhapuskan.

Langit menghitam. Deru ombak mengantar perahu kami menuju lautan lepas. Dua buah lampu minyak dan langit berbintang adalah pelita. "Semoga malam ini, tangkapan ikan melimpah."

Pedoman kami hanyalah langit malam. Telunjuk Bang Imron merangkai garis di antara hamparan bintang-bintang. Menentukan lokasi kawanan ikan yang bergerombol melintasi samudera.

Kulihat dari kejauhan kawanan ikan selar melompat-lompat di bawah cahaya rembulan. Dan ketika hendak memutar haluan, Bang Imron menahanku. Ia menunjuk lurus ke depan. Kami pun melewatkan satu kesempatan, pikirku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline