Lihat ke Halaman Asli

Inosensius I. Sigaze

TERVERIFIKASI

Membaca dunia dan berbagi

Revisi UU ITE: Antara Formulasi dan Kejelasan Berpikir

Diperbarui: 18 Februari 2021   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi

Tema aktual yang ditawarkan Kompasiana kali ini adalah Revisi UU ITE.  Istilah yang menarik dari tema ini tentu revisi. Istilah ini terhubung langsung ke dalam bahasa hukum, revisi berarti mengajukan banding terhadap putusan yang akan diajukan, yang dengannya akan diperiksa terkait dengan penerapan undang-undang yang tidak benar atau karena kekurangan prosedural lainnya dalam putusan. 

Revisi berasal dari kata bahasa Latin, revidere yang berarti untuk melihat lagi, juga revisio yang berarti suatu pemeriksaan ulang (Bdk. Neueswort.de)

Jika kata revisi  merujuk kepada kata Latin revidere dan revisio, maka wacana tentang revisi UU ITE perlu mempertimbangkan beberapa hal ini:

Pertama, revisi dalam arti yang sebenarnya tidak sama dengan menghapus. Dalam kbbi.web.id disebutkan, revisi adalah kata benda yang berarti peninjauan kembali (pemeriksaan) kembali untuk perbaikan. Sedangkan merevisi berarti memperbaiki; memperbarui. Pertanyaannya, pasal berapa UU ITE, yang perlu atau harus dilihat lagi atau harus diperiksa ulang atau harus diperbarui? Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa bukan dihapus.

Kedua, gelombang suara baik yang dukung revisi, maupun tengah mendiskusikan ihwal revisi sudah terdengar mulai dari Presiden Joko Widodo, lalu Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menko Polhukam Mahfud MD, Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman bahkan pengamat politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi yang menilai lampu hijau bagi peluang revisi UU ITE. (Bdk. CNN Indonesia, Selasa, 16/02/2021). 

Selanjutnya dalam Jakarta, Kompas 16/02/2021, Rini Kustiasih menegaskanWacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang dilontarkan Presiden Joko Widodo didukung sejumlah fraksi di DPR." Artinya di kalangan Elit Politik Indonesia, wacana tentang revisi UU ITE ini merupakan tema aktual yang sedang dibahas dan ramai dibicarakan. Pertanyaannya, mengapa wacana revisi ini begitu penting?

Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang wacana revisi UU ITE:

1. Pernyataan dari Komnas HAM : Bertolak dari Pasal 27 ayat 3 terkait pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait penyebaran ujaran kebencian berbasis SARA itu sangat bermasalah. 

Hal itu karena dua pasal itu berdampak pada pembatasan kritik yang adalah juga hak konstitusional warga yang menjamin kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. (Bdk.  Jakarta, CNN Indonesia| Selasa, 16/02/2021). 

Dalam hal ini ada harapan melalui revisi UU ITE, setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memberikan kritik. Point kebebasan dalam memberikan kritik adalah poin sentral, namun seperti apa kebebasan memberikan kritik itu mesti harus dijelaskan. 

Tentu diharapkan bahwa orang boleh mengkritik, tetapi dengan tetap berpegang pada etika, tata krama, sopan santun bukan? Ini tantangan bagi pihak yang akan merevisi, formulasi seperti apakah sehingga orang bisa dijerat dari pasal UU ITE yang direvisi nanti atau sampai batas manakah kritik seseorang itu tidak terjerat pasal UU ITE?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline