Lihat ke Halaman Asli

Inong Islamiyati

Gadis pemimpi dan penyuka anime

Hubungan yang Retak

Diperbarui: 24 Juni 2025   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Ami tengah menilai tugas-tugas muridnya di teras rumah ditemani secangkir teh hangat. Kadang dia tersenyum lucu melihat hasil karya anak didiknya. Warna dan bekas dari penghapus tersebut tak pernah membuatnya jemu. Dia bahagia, bisa menjadi seorang guru SD di kampungnya. Walau memang ekonominya bisa dikatakan pas-pasan untuk menopang hidup, tidak mengapa. Asalkan dia masih bisa makan dan sedikit berbagi. Bagi Ami, untuk apa menjadi kaya raya namun memiliki hati sedingin es. Biar saja hidup sederhana tetapi bahagia dan tenteram dari pada harus berhutang.

Berbicara soal hutang, Ami kadang merasa jengkel setiap kali mendengar kata itu. Prinsip Ami yang tidak mau berhutang apabila benar-benar perlu membuat geram para tetangganya. Padahal kedua saudaranya yang lain lebih kaya dan mapan dibanding Ami. Tetapi Ami, tidak sanggup menerima penolakan dan belas kasih itu lagi.

Masih lekat di ingatan Ami tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat Ami hendak meminjam uang pada abangnya, Aji. Untuk sekedar membeli susu formula bagi Gita, yakni anak pertama Ami yang baru berusia 3 tahun. Reaksi dari kakak lelaki pertamanya itu, membuatnya menaikkan alis dan berapi-api.

"Kamu mau meminjam uang sama abang? Ingat ya Ami, kamu itu sudah abang kuliahkan sampai lulus di universitas yang elit. Tetapi apa coba hasilnya? kamu hanya menjadi guru di desa kecil. Abang kira ada perlu apa kau sampai repot pergi ke kota, ini ambil dan jangan pernah temui abang lagi," ujar abangnya sembari melambai-lambaikan uang seratus ribu rupiah. Ami merasa jengkel dan malu. Dengan terpaksa dia ambil uang itu sambil menangis memeluk anaknya.

Kurniaji atau biasa dipanggil Aji,  yang merupakan kakak lelaki Ami bisa dibilang dari dulu memang tidak menyukai Ami. Sejak dulu mereka jarang bertegur sapa dan hanya mengurusi urusan pribadi masing-masing. Entah mungkin karena fisik Ami yang tidak sebagus dirinya, atau dia memang menyimpan suatu dendam pada Ami. Yang jelas perlakuan Aji sejak dulu, sangat berbeda pada Ami dibandingkan dengan adiknya yang lain yaitu Ara.

Ara, merupakan anak bungsu di keluarga mereka. Dia bekerja sebagai seorang pramugari yang sibuk dengan jam kerja yang padat. Jarang sekali Ami bisa bertemu dengannya. Kadang hanya satu kali setahun di hari raya Idul fitri. Kadang juga hanya dua tahun sekali, tergantung dari kesibukan Ara. Tetapi dibanding Aji, dia masih bersikap baik kepada Ami. Buktinya, dia masih mau mengunjungi Ami sesekali di tengah kesibukannya.

Aji, Ami dan Ara adalah tiga orang saudara yang biasa. Hidup di lingkungan biasa. Dahulu, sang ayah bekerja sebagai penjual soto mie dan sang ibu mengambil peran sebagai penyapu jalan. Walau demikian, kedua orang tuanya sangat mementingkan pendidikan dan ingin anak-anaknya sukses. Masih lekat di ingatan Ami, saat mereka bermain hujan bersama dahulu. Hingga keesokan harinya, mereka bertiga demam dan dimarahi oleh sang bunda. Kadang Ami tertawa dan dapat menangis, apabila mengingat kembali kenangan indah bersama mereka berdua.

"Kamu tidak apa-apa, sayang?" panggilan seorang lelaki membuyarkan lamunan sang guru SD tersebut.

"Ah... tidak apa-apa. Aku baik," ujar Ami berbohong.

"Kamu masih memikirkan tentang saudara-saudaramu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline