Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pariwisata, Menguji Kesiapan DTW "Beyond Bali" dan "Bali and The Beyond"

Diperbarui: 3 Juni 2018   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisatawan mancanegara hanya memakai kutang dan cawat berjemur di pasir Pantai Kuta, Bali, tanpa jadi tontontan bahkan ketika ada upacara adat setempat (Sumber: kabar24.bisnis.com)

"Beyond Bali" Dipromosikan di India. Ini judul berita di kompas.com (30/5-2018). Jadi teringat ke jargon pariwisata "Bali and The Beyond" di era Orba yang juga memasarkan daerah tujuan wisata (DTW) selain Bali. Hasilnya tetap saja nol besar karena kesiapan DTW tidak bisa dilakukan secara instan dan top-down.

Jumlah wisman (wisatawan mancanegara) yang berkunjung ke Indonesia (tahun 2017 kedatangan 14 juta wisman) jauh di bawah Thailand (tahun 2017 dikunjungi 35 juta wisman) dan Malaysia (tahun 2016 didatangi 26 juta wisman). Padahal, objek wisata di Indonesia jauh lebih banyak daripada di Thailand dan Malaysia. Sebuah pantai di Thailand, pantai "The Beach" dikunjungi 4.000 wisatawan tiap hari (Baca juga: Filipina dan Thailand Tutup Kawasan Wisata karena Kerusakan Ekosistem, Bagaimana dengan Indonesia?)

Cara Berpakaian

Semboyan atau branding pariwisata Indonesia tidak mencerminkan alam Nusantara (Wonderful Indonesia dengan ilustrasi imajinasi), bandingkan dengan Malaysua (Malaysia, Truly Asia) dan Thailand (Amazing Thailand Always Amazes You) (Baca juga: "Asia Landscape" Branding Pariwisata Indonesia).

Ketika itu Lombok pun menyambut dengan sukacita melalui jargon "You can see Bali in Lombok but you can't see Lombok in Bali". Memang, di Lombok ada komunitas Bali tapi bagian dari masyarakat luas sehingga berbaur dengan aturan norma sendiri-sendiri.

Kesiapan DTW selain Bali dan Yogyakarta tidak bisa disebut sebagai tempat wisata yang nyaman, al. karena banyak aturan normatif dengan pijakan agama. Di banyak DTW, bukan hanya DTW dengan mayoritas Muslim, ada peraturan daerah (Perda) yang melarang peredaran dan penjualan minuman beralkohol (Baca juga: Pariwisata, Adakah "Hospitality" di Danau Toba dan DTW Lain Selain di Bali dan Yogyakarta?).

Di Manokwari, Papua Barat, dengan agama mayoritas Kristen misalnya seorang pengusaha hotel bingung tujuh keliling karena tamu-tamu hotel warga asing protes harga bir yang selangit. Harga itu terjadi karena ada Perda yang melarang minuman beralkohol sehingga bir dijual di pasar gelap.

Apakah mungkin DTW tanpa minuman beralkohol?

Rencana pemerintah untuk menjadikan DTW 'halal' bukan berarti semua hal di DTW itu harus sesuai dengan agama mayoritas lokal, tapi ada penjualan minuman dan makanan yang halal. Juga tersedia tempat ibadah.

Lalu, sejak reformasi semua daerah di Indonesia menutup lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran sehingga praktek pelacuran dalam bentuk transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus.

Pertimbangan yang tidak matang akhirnya menimbulkan kerugian dan friksi sosial. Seperti di Kota Mataram, Lombok, NTB. Ada Perda yang melarang wisatawan hanya memakai kutang dan cawat (celana dalam) seperti di Bali. Akibatnya, wisatawan yang menyeberang dari Bali melalui Pelabuhan Padang Bai ke Pelabuhan Lembar di Lombok atau naik angkutan udara ke Lombok mereka langsung ke pantai Senggigi di utara Kota Mataram. Kawasan ini persis seperti di Kuta, Bali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline