Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pariwisata, Adakah "Hospitality" di Danau Toba dan DTW Lain Selain di Bali dan Yogyakarta?

18 April 2018   13:32 Diperbarui: 18 April 2018   14:58 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Salah satu sudut di Danau Toba (Sumber: poskotanews.com/Istimewa)

Dua calon Gubernur (Cagub) Sumatera Utara (Sumut) yaitu Djarot Saiful Hidayat dan Edy Rahmayadi menyebut-nyebut potensi Danau Toba sebagai aset pariwisata (SCTV, 18/4-2018). Celakanya, tidak ada 'cetak biru' yang akan menopang pengembangan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata (DTW) yang bisa sejajar dengan Bali dan Yogyakarta.

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait dengan pariwisata yang lebih pas disebut tourism, yaitu ada beda antara pariwisata, darmawisata, piknik, dll. Jika berbicara pariwisata, maka dalam konteks yang luas pembicaraan terkait dengan tourism and hospitality.

Dengan kaitan hospitality maka pariwasata pun mencerminkan keramahan, keramahtamahan, kesediaan dan kesukaan menerima tamu. Itu artinya wisatawan yang berkunjung ke DTW tidak akan pernah kecewa sehingga mereka akan bercerita kepada keluarga, teman, sahabat dll. sedangkan mereka akan membuat jadwal baru untuk kembali berkujung ke DTW tsb.

Jika kunjungan terkait dengan pariwisata, maka di DTW ada perwujudan riil dari masyarakat dan budayanya yang bisa dilihat setiap saat.

Apakah kita bisa melihat 'Orang Batak' di Danau Toba seperti melihat 'Orang Bali' di Bali dan 'Orang (Jawa) Yogya' di Yogyakarta?

Tentu saja tidak bisa!

Inilah faktor utama yang memuat banyak DTW di Indonesia tidak populer di mata warga dunia karena mereka tidak bisa berbaur secara budaya dengan kehidupan masyarakat lokal.

Di Bali pagi dan sore hari wisatawan bisa menikmati kehidupan budaya Bali di pura ketika warga datang dengan pakaian khas dan membawa kembang untuk berdoa. Di sepanjang  Jalan Malioboro wisatawan bisa 'hidup' dengan kusir atau sais andong yang berpakaian khas Jawa.

Kegiatan terkait dengan seni dan budaya terus bergulir setiap saat sehingga wisatawan bisa menikmati pertunjukan tanpa terhalang oleh waktu. Di Bali wisatawan bisa menonton tari Kecak di siang hari tanpa harus menunggu malam tiba.

Yang juga sering jadi persoalan besar adalah masalah harga minuman, makanan, sewa kendaraan, akomodasi, dll. yang tidak seragam. Di Bali harga sebotol bir, misalnya, sama di semua tempat. Celakanya, sejak reformasi banyak daerah yang melarang peredaran minuman beralkohol sehingga menyulitkan penyedia jasa pariwisata untuk menyediakan minuman beralkohol.

Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, seorang pengusaha hotel pusing tujuh keliling karena diprotes tamu ketika dia menyodorkan harga bir lima sampai sepuluh kali dari harga normal ketika dijual bebas. Tamu-tamu asing protes karena harga itu tidak masuk akal bagi mereka. Padahal, pengusaha hotel tadi membeli bir di pasar gelap melalui calo atau kaki tangan pemilik bir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun