Lihat ke Halaman Asli

Indria Salim

TERVERIFIKASI

Freelance Writer

Pahlawan dan Kisah Pribadi

Diperbarui: 10 November 2018   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pahlawan berani berkorban demi tujuan mulia yang bermanfaat bagi banyak orang |pixabay.com

Istilah "pahlawan" ditujukan kepada mereka yang berani bertindak dalam menghadapi bahaya atau musuh; mereka yang melakukan apa yang benar secara moral, terlepas dari tekanan dari luar dirinya atau pihak lain. Sifat kepahlawanan menurut saya ditentukan oleh pilihan dan tindakannya, bukan karena suatu peristiwa yang kebetulan saja.

Seorang pahlawan berani dan mau mengorbankan nyawanya, tidak melulu mementingkan diri sendiri dan itu dilakukannya dengan tulus demi bisa membantu orang lain untuk hal positif.

Pahlawan dalam hal ini bisa dalam pengertian sempit, atau luas. Bisa saja itu merujuk pada anggota keluarga, sosok dalam komunitas, guru di sekolah -- intinya mereka yang tidak mudah menyerah dalam memperjuangkan sesuatu yang mulia dan berterima oleh nilai-nilai kemanusiaan, dan kebaikan yang relatif universal. Maafkan saya bila batasan ini tidak tepat.

Kisah pribadi, terkadang menciptakan pahlawannya sendiri. Itu bila pahlawan bukan dilihat dari gelar resmi, atau nama yang terukir di batu nisan, pun tidak dilihat dari keberadaan makam yang bukan disebut Taman Makam Pahlawan.

Sebuah kebetulan random, saya menonton film "A Man Called Ahok" kemarin lusa (08/XI/2018), dan kemarinnya lagi. Dalam dua kali kesempatan itu, saya terkesan dengan suasana di bioskop saat itu. Tidak terdengar sedikit pun ada suara bernada obrolan antar teman duduk. Dua kesempatan berada dalam tayangan film yang sama, saya terkesan dengan frekuensi pikiran penonton yang kurang lebih sama -- terlarut pada adegan demi adegan di layar lebar, tergelak spontan dengan satu ungkapan yang hanya tertampilkan dalam satu dua patah kata pemainnya, dan orang menyusut hidung meler sebagai efek beberapa adegan dalam film itu. Tampaknya orang menangis diam-diam, dan malu-malu -- contohnya saya sendiri.

"A Man Called Ahok", lebih merupakan sebuah kisah tentang "pola pengasuhan atau pola didik" seorang ayah, ibu, kepada anak-anak mereka. Film ini memberikan nilai-nilai keluhuran budi seorang ayah, yang sejalan dengan kelembutan seorang ibu yang adalah istri Sang ayah. Spontan saya teringat masa kecil sendiri, dan apa yang kami alami sebagai pendidikan secara langsung atau tidak langsung oleh orang tua -- yang kami panggil sebagai bapak dan ibuk.

Orang tua kami adalah guru. Bapak mengajar di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, yang menyiapkan mahasiswa menjadi tenaga pendidik di Sekolah Luar Biasa. Dari bapak, saya tanpa sengaja "sedikit mengenal" spesialisasi dan kategori serta tingkatan "kebutuhan khusus" anak-anak, untuk menentukan SLB mana yang tepat untuk mereka. Saat itu ada juga asrama yang disediakan bagi orang tua yang menginginkan anak mereka tinggal di asrama khusus, yang masih satu pengelolaan dengan lembaga pendidikan yang sama.

Dari aspek profesional, saya mengamati dedikasi bapak dalam tanggung jawabnya, sebagai dosen dan pimpinan sekolah anak berkebutuhan khusus, termasuk asramanya. Bapak tidak pernah terdengar mengungkapkan keluhan dalam obrolan dengan ibuk soal waktu tanpa batas yang disediakannya bagi siapa saja yang datang ke rumah untuk berkonsultasi dengannya. Ada mahasiswa, teman dosen, calon orang tua siswa (dan anak mereka). 

Pada umumnya mereka yang saya sebutkan itu datang ke rumah untuk mencari solusi, saran, dan arah keputusan yang harus dibuat terkait masalah pribadi mereka. Ada mahasiswa galau karena pedekate geje dengan seseorang yang ditaksirnya, ada kolega yang bingung mengarahkan anaknya mau masuk sekolah lanjutan apa, ada orang tua dan anaknya yang datang jauh-jauh dari luar kota meminta anaknya ditampung di asrama tempat bapak bekerja, setelah anak tersebut ditolak menjadi siswa di sekolah lain di kotanya, ada pengasuh asrama datang melaporkan anak asrama "hilang", dan sebagainya. Rumah kami yang sederhana menjadi "sibuk" dengan kunjungan orang-orang secara silih berganti.

Biasanya setelah itu, bapak berbincang tentang tamunya dengan ibuk, dan menurut persepsi saya yang masih kecil saat itu, perbincangan itu menghasilkan empati dan dukungan ibuk, yang turut menjadi nyonya rumah yang baik bagi para tamu. Ibu sendiri sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Negeri yang seingat saya -- dalam kapasitasnya yang terbatas, "cuma" bisa menyisihkan sebagian kecil gaji bulanannya untuk membayari makan siang harian dua orang guru honorer di sekolahnya.

Di lingkungan tetangga, hal yang sama juga mewarnai interaksi orang tua (khususnya bapak) dengan para tetangga. Ada yang datang "minta obat", ada yang datang "pinjam uang", padahal hidup kami sangat sederhana cenderung "pas-pasan", bukan yang berkelimpahan. Ada beberapa indikator yang membuat saya memahami bahwa bapak suka membantu orang yang membutuhkan. Apa saja, bukan hal-hal besar atau masif, namun dari reaksi orang-orang itu, mereka tampak berterima kasih dan "lega" melibatkan bapak dalam mencari solusi kesulitan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline