Lihat ke Halaman Asli

Dua Puluh Dua Menit

Diperbarui: 17 Februari 2019   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini aku memesan dua buah kursi di sebuah restoran makan malam. Dua gelas piala dan sebotol anggur bertengger di atas meja. Aku menunggu kedatanganmu dengan harap harap cemas. 

Saat ini masih tanggal dua belas dalam penanggalan jawa, belum sepenuhnya purnama. Tetapi kamu berkenan hadir, suatu kehormatan yang langka.

Pukul delapan kurang seperempat, kau datang. Membawa aroma Alain Delon ke meja, membuangku ke masa lalu. Kau duduk, membuatku gugub setengah mati. Aku meminta pelayan untuk menuangkan anggur lalu kembali berkonsentrasi dengan mata coklatmu.

Tak ada sekotak hadiah yang manis, tak ada bunga mawar dari florist. Perjalananmu sudah cukup berat hingga bisa sampai di sini. Tak ada pelukan, tak ada kecupan di dahi. Tak ada jabat tangan, kamu sudah lebih dari cukup.

"Kamu apa kabar?" tanyaku hati hati.

Sebenarnya aku tak butuh jawaban. Aku yakin kau baik baik saja tanpaku. Masih dengan postur tubuh yang sama dengan terakhir kali kita bertemu.

"Sudah lama ya kita tidak makan berdua" kataku, basa basi.

Kulirik beberapa manusia yang bersiap menjamu tamu dengan hidangan musiknya. Biola, bass dan segala perangkat lainnya ditata sedemikian rupa. Aku tersenyum, sebuah malam yang sempurna.

"Semenjak kamu pergi, aku baik baik saja. Tetapi tak dapat kupungkiri jika ada bagian yang hilang" kataku, menyicil kelegaan yang sudah berada di ujung urat leher. Aku berusaha meyakinkan jika duniaku masih berputar pada porosnya. Meski aku sudah tak punya galaksi yang serupa dengan ketika kamu masih ada.

"Aku seperti kehilangan seseorang yang setia, setia membaca tulisanku tanpa diminta. Aku seperti kehilangan seseorang yang biasa memeluk anak anakku, tulisanku. Aku kehilangan seseorang yang bersedia menemani mulutku berbicara apa saja pada pukul tiga pagi. Kamu tahu bagaimana rasanya?"

Kuhela napas berat. Udara malam berhembus pelan, menyapu riasan di pipiku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline