Lihat ke Halaman Asli

Pemakaman di Pekarangan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul tulisan di atas diambil dari surat pembaca "Kompas" hari ini. Penulis surat pembaca adalah  penduduk di Kembangan, Jakarta Barat, yang mengaku keberatan dengan hadirnya pemakaman keluarga yang letaknya hanya satu meter dari tembok rumahnya.  Keluarga yang meninggal memang memakamkannya di pekarangan sendiri. Namun yang jadi keberatan, ya itu tadi, karena letaknya persis bersebelahan dengan tembok rumah dan juga sumur bor tetangga.

Ya, bisa kita bayangkan, betapa risihnya ada makam yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat kita tinggal (meski pun di Jakarta ini, menjadi pemandangan lumrah ada makam di tengah perumahan penduduk).

Bagi sebagaian penduduk Betawi, memang ada kebiasaan memakamkan  anggota keluarganya di halaman rumah. Tapi, kebiasaan itu saat ini sudah sangat jarang dilakukan. Salah satunya karena alasan ketersediaan lahan yang makin sempit. Karena kebiasaan itu pula, sering malah menimbulkan kelucuan tersendiri. Ketika tetangga saya meninggal 10 tahun lalu, dia dimakamkan di depan rumahnya, yang juga bersebelahan dengan  kos-kosan para mahasiswa Binus di Kemanggisan. Saat pemakaman saya ikut menyaksikan, dan tampak si penggali kubur  agak repot saat menggali  karena kuburannya bersebelahan dengan kamar kos para mahasiswa. Usai pemakaman, kepada salah seorang kerabat yang meninggal saya tanya, "terus anak-anak kos itu nggak protes?"  Sambil tersenyum kerabat itu menjawab, "cuma semalam mereka ngungsi," ujarnya.

Saat kuliah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, saya pun mengalami hal serupa. Kala itu, temen-temen kuliah akan  mencari rumah  yang bisa dijadikan "basecamp", tempat kumpul bersama. Singkat cerita,  saya dan teman-teman  menemukan dengan harga lumayan murah. Yang punya rumah pun datang. Dan saat membuka pintu belakang, terlihat beberapa kuburan dengan tanah merahnya yang khas. Sontak beberapa kawan balik badan dan minta agar tidak jadi.

Bahkan, ada tetangga saya yang di ruang tamunya ada kuburan. Nah, untuk membuat kamuflase, persis di atas kuburan yang sudah ditembok itu, ditaruh meja.  Siapapun tak akan menyangka bahwa di sana ada kuburan. Bisa jadi, tetangga ini membangun rumah di tanah yang sebelumnya sudah ada kuburan.

Ikhwal kebiasaan masyarakat Betawi membuat kuburan  di pekarangan rumah ini, sempat saya tanyakan langsung kepada beberapa kerabat dan tetangga. Begini jawabannya:   "Itu untuk mengingatkan kepada keluarga yang masih hidup bahwa mereka pun akan mati. Jadi, pas membuka pintu rumah atau jendela setiap pagi, maka yang terlihat pertama kali adalah makam," katanya.

Jawaban lain, untuk memudahkan kerabat menziarahi makam orang tua atau saudara. Jadi, tidak usah pergi jauh saat ingin berziarah. Begitu jawabannya.  Tapi harus diingat, itu kebiasaan lama, ketika kepemilikan tanah di Jakarta masih sangat luas.

Saat ini, sebagian orang Betawi   sudah tidak lagi memakamkan di pekarangan rumah. Mereka sudah ingin memaksimalkan tanah yang mereka miliki untuk ditempati atau disewakan, tanpa diisi oleh kuburan.  Dan saat ini, sering saya lihat banyak lahan yang  tidak terlalu luas, tidak bisa dimanfaatkan apa-apa sebab sudah ada kuburan di sana. Pihak pemilik tanah pasti kebingungan: antara membongkar atau membiarkan apa adanya.

Menurut saya, pemerintah daerah memang harus menertibkan soal ini. Lebih tepatnya melarang makam di pekarangan.  Bahkan, beberapa warga Betawi sudah melakukan ini sejak puluhan tahun silam.  Di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat,  ada jalan Haji Junaidi. Beliau adalah sosok ustadz masyhur tahun 1940-1970.  Meski memiliki tanah luas, namun melarang keluarganya dimakamkan di pekarangan rumah. Beliau sendiri wafat pada tahun 1974 dan dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Kemanggisan. Begitu pula dengan anak dan cucunya. Sementara tanah dan pekarangan luas yang kini dihuni para ahli waris, bisa dimanfaatkan untuk tujuan orang yang masih hidup. Salah satunya, jadi TPS (Tempat Pemungutan Suara) saat pemilu lalu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline