Lihat ke Halaman Asli

Lukman Hamarong

Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Setengah Hari di Jakarta, Sejuta Rasa di Hati

Diperbarui: 27 Juli 2018   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berada di Monas

Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia. Kita menyebut Jakarta sesuai ejaan bahasa Indonesia. Sementara orang Betawi bilangnya Jakarte. Orang bule mengucapnya Jekardah. Mau Jakarta, Jakarte, atau pun Jekardah, semua tertuju pada kota besar, kota metropolitan, kota dengan berbagai gaya hidup mewah, bangunannya angkuh tinggi menjulang, jalanan padat kendaraan alias akrab dengan macet, tempatnya para elit berkuasa, wahana kaum selebritas mencari rupiah, dan yang pasti wanita di sana cantik-cantik dan manis-manis. Hehehe.....

Bagi saya, Jakarta hanya ada di tivi. Saya merasakan kehidupan Jakarta dengan duduk manis di depan tivi, sambil menonton berita dari bumi tempatku berpijak. Mustahil sepasang kaki ini menginjakkan bumi Jakarta. Mustahil sepasang mata ini melihat indahnya Istiqlal, memandang tingginya Monas, mendengar bisingnya kereta di Stasiun Gambir, merasakan atmosfer Gelora Bung Karno, dan epiknya Bundaran HI. Di sana, saya memiliki sahabat maya, para penulis Kompasiana yang saya kagumi yang telah menularkan "kegilaan" dalam menulis.  

Gedung tinggi menjulang (dok. pribadi)

Itu dulu. Kehidupan terus bergerak maju menuntun saya ke jalan yang benar. Benar menurut petunjuk orang tua, tapi secara pribadi, sebenarnya bukan pilihan hidup, sekaligus bukan pula pilihan hati bagi saya. Ya, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak 2003 tentu menjanjikan. Gaji ada, kemudian beristri, lalu punya anak. Semua itu hadir di hadapanku. Lalu apa yang kurang? Saya masih setia duduk manis melihat Jakarta dari layar tivi. Padahal titik 0 kilometer NKRI di kota Sabang Provinsi Aceh sudah saya singgahi setahun kemarin.

Masjid Istiqlal Jakarta (dok. pribadi)

Di depan ada Jakarta menunggu hadirku. Tepat 8 Juli 2018, mimpi itu menjadi nyata. Laju mobil membawaku dari Tangerang Selatan menuju Jakarta. Begitu masuk wilayah Jakarta (pokoknya Jakarta, entah selatan, utara, atau pusatnya Jakarta), tubuh ini tak bisa diam. Tahu kan kalau anak kecil masuk mall. Lihat tangga berjalan (upss, eskalator), hahaha... kepala bolak-balik. Kiri ke kanan, kanan ke kiri. Untung ada lagu Padi yang imbangi. Perjalanan ini pun merampas bijak hatiku. Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah.

Sebelum menemui tempat terindah, kami mampir di sebuah warung Padang untuk mengisi "bahan bakar". Biar api semangatnya kembali menyala untuk melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, akhirnya semua tempat tersinggahi. Suara bising kereta Stasiun Gambir sudah akrab di telinga. Lantunan ayat Ilahi di masjid Istiqlal begitu syahdu terdengar. Sekilas Bundaran HI juga sudah nampak terlihat. Dan "Allahu Akbar", lirih terucap atas rasa takjub pada monas berlapis emas yang tinggi menjulang. Monas tidak angkuh seperti angkuhnya gedung-gedung itu.

Kereta di Stasiun Gambir (dok. pribadi)

Masya Allah, perjalanan ini menjadi sempurna ketika Sang Penulis Kompasiana berkenan menemuiku di Jakarta meski harus menempuh perjalanan sekira sejam dari kota tempat ia tinggal. Perjuangan berjam-jam karena muter-muter akibat macet sepertinya tidak linier dengan durasi perjumpaan yang hanya 10 menit. Meski demikian, kualitas yang membuat perjumpaan itu berkelas, karena rasa kagum itu kemudian mempertegas rasa kagum sebelumnya atas karya-karyanya. Terima kasih, Jakarta. Terimalah hadirku dalam kebisinganmu. Kapan-kapan kita berjumpa lagi. (LH, 260718)



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline