Lihat ke Halaman Asli

Perbandingan Pendidikan Islam: Perbandingan Pendidikan Zaman Dahulu dan Zaman Modern Dalam Menerapakn Nilai-nilai Moral

Diperbarui: 5 Juni 2025   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan Islam sejak awal kemunculannya bukan hanya bertujuan mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk kepribadian dan moral manusia. Dalam sejarahnya, pendidikan Islam telah melahirkan banyak tokoh besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Imam Malik, yang tak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi contoh moral dalam masyarakat. Pendidikan di masa klasik tidak memisahkan antara ilmu dan akhlak. Seorang murid yang belajar kepada gurunya, seperti yang dilakukan Imam Syafi'i kepada Imam Malik, tidak hanya belajar isi kitab, tetapi juga adab dalam menuntut ilmu, seperti sikap hormat, rendah hati, dan kesungguhan dalam belajar.

Pada masa dahulu, metode pendidikan sangat bergantung pada interaksi langsung antara guru dan murid. Proses ini tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga mewariskan nilai. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga teladan. Seperti yang ditunjukkan oleh Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin, pendidikan harus berorientasi pada pembentukan jiwa dan akhlak. Murid diajarkan untuk menyucikan hati sebelum mengisi pikirannya dengan ilmu. Model pendidikan seperti ini menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.

Bandingkan dengan zaman modern, ketika sistem pendidikan telah bertransformasi menjadi lebih formal dan berorientasi pada kurikulum yang seragam dan ujian berbasis nilai angka. Di banyak sekolah, termasuk sekolah Islam, nilai-nilai moral terkadang hanya menjadi materi hafalan, bukan lagi bagian dari pembentukan karakter yang mendalam. Guru menjadi pengajar materi, bukan pembimbing spiritual. Interaksi antara murid dan guru pun seringkali terbatas pada ruang kelas dan jam pelajaran, tanpa kedekatan emosional dan keteladanan moral sebagaimana di masa lalu.

Perubahan ini tentu bukan tanpa alasan. Perkembangan teknologi dan arus globalisasi telah membawa tantangan besar bagi pendidikan Islam. Murid kini lebih mudah mengakses informasi dari internet daripada dari gurunya. Namun, kemudahan ini tidak selalu dibarengi dengan kedalaman pemahaman dan nilai. Banyak pelajar tahu apa itu kejujuran, tetapi tidak menjadikannya prinsip dalam kehidupan. Nilai-nilai moral seperti tanggung jawab, amanah, dan kesopanan perlahan-lahan tergerus oleh budaya instan dan individualistik yang marak di era digital.

Meski begitu, pendidikan Islam modern tidak sepenuhnya kehilangan arah. Beberapa lembaga pendidikan berusaha mengembalikan nilai-nilai pendidikan klasik dengan menyeimbangkan antara sains dan moral. Misalnya, sekolah-sekolah berbasis pesantren seperti Gontor atau Pesantren Tebuireng tetap menekankan pentingnya adab dalam belajar. Di pesantren, santri tidak hanya belajar fiqih dan tafsir, tetapi juga dilatih untuk hidup sederhana, mandiri, dan menghormati orang tua serta guru. Nilai-nilai ini masih dipertahankan dan diajarkan melalui pembiasaan harian, bukan sekadar teori.

Selain itu, tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa pendidikan harus menjadi media untuk membentuk masyarakat yang bermoral. Hasyim Asy'ari dalam Adabul 'Alim wal Muta'allim menekankan pentingnya etika guru dan murid, sedangkan Ahmad Dahlan membuktikan bahwa modernisasi pendidikan Islam bisa sejalan dengan nilai-nilai moral. Keduanya membangun lembaga pendidikan yang menyeimbangkan antara penguasaan ilmu dan pembentukan karakter.

Pendidikan Islam masa kini perlu mencontoh kearifan masa lalu dengan tetap terbuka terhadap kemajuan zaman. Pembelajaran berbasis digital boleh digunakan, tetapi tidak boleh melupakan pentingnya keteladanan, pembinaan akhlak, dan kedekatan emosional antara guru dan murid. Menggabungkan teknologi dengan pendidikan karakter adalah tantangan besar yang harus dijawab oleh para pendidik dan lembaga pendidikan Islam. Sebab, sehebat apapun kemajuan teknologi, ia tidak dapat menggantikan peran seorang guru sebagai pembentuk jiwa.

Akhirnya, perbandingan antara pendidikan Islam zaman dahulu dan zaman modern menunjukkan bahwa nilai moral tetap menjadi inti yang tak tergantikan. Jika masa lalu berhasil melahirkan ilmuwan yang juga saleh dan bermoral tinggi, maka masa kini juga bisa melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter, asalkan pendidikan Islam tidak kehilangan ruh utamanya: menanamkan ilmu yang bermanfaat dan akhlak yang mulia. Maka, pembaruan pendidikan Islam hari ini tidak boleh hanya fokus pada metode dan fasilitas, tetapi harus kembali meneguhkan tujuan utamanya: membentuk manusia seutuhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline