Lihat ke Halaman Asli

Ilham Paulangi

Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

Kuatnya Dollar dan Gaya Hidup Kita

Diperbarui: 6 September 2018   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Himbauan Wapres Jusuf Kalla,  untuk tidak membeli mobil Ferrari dan Tas Hermes, yang bertujuan untuk menghentikan laju kenaikan dollar patut menjadi perhatian semua pihak. Himbauan tersebut patut didukung, bukan sebaliknya ditanggapi sinis.

Penyebutan dua jenis barang mewah tersebut, dapat dimaknai sebagai metafor untuk menggambarkan sikap konsumtif sebagain warga negara Indonesia terhadap barang-barang mewah. Dengan demikian, pesan ini sebenarnya bermakna agar warga Indonesia jangan lagi membeli barang impor yang tidak dibutuhkan secara ril. Artinya, jangan beli barang yang bukan kebutuhan primer.

Memang terdapat beberapa barang impor yang agak sulit distop, seperti kedele, suku cadang mesin, dsb. Kedele misalnya yang mayoritas didatangkan dari negeri paman sam, sehingga apabila dollar naik, harga tempe naik. Tetapi warga tetap saja sulit dilarang membelinya, karena sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi mayoritas warga Indonesia.

Belajar dari Turki yang mengalami kondisi mata uang Lira, yang jauh lebih terpuruk. Dimana Turki mampu mengatasinya dengan cara menyetop membeli barang-barang impor. Kemudian juga dengan cara membuat gerakan bersama untuk melepas dollar. Dan terbukti efektif menyelamatkan negara mereka.

Disini berlaku prinsip, lebih baik mengendalikan apa yang bisa kita kontrol  di dalam negeri dari pada berharap perbaikan kondisi dari luar. Satu-satunya yang bisa kendalikan adalah belanja masyarakat sendiri.

Konsumersime Global

Tetapi untuk menghentikan sikap konsumtif masyarakat, sangat lah tak mudah. Karena masyarakat diseluruh dunia sudah menyatu dengan apa yang disebut budaya konsumerisme. Atau konsumerisme global. 

Konsumerisme adalah sebuah konsep berbelanja yang tidak sama dengan konsep berbelanja biasanya. Bukan seperi berbelanja untuk kebutuhan-kebutuhan dasar, sebagaimana kita sering jumpai di pasar-pasar tradisional. Tetapi merupakan konsep berbelanja dalam konteks budaya massa.

Budaya konsumerisme, mengandaikan seseorang membeli suatu barang dengan maksud agar barang itu menjadi penanda (signifier) terhadap makna status sosial, atau dengan makna apa seseorang tersebut  ingin diidentifikasikan. Seseorang membeli kesan, citra,  bukan manfaat. 

Seseorang misalnya membeli mobil ferrari bukan lah karena kendaraan tersebut ingin digunakan untuk bepergian atau digunakan sebagai kendaraan ke tempat kerja, melainkan menjadikannya sebagai penanda yang bermakna kemewahan. Kesan yang diinginkan pada mobil ferrari tersebut adalah laki-laki yang sedikit liar, otonom dan bebas secara financial.

Demikian pula dengan tas hermes. Juga bukan meruoakan  tas yang dibutuhkan ke pesta untuk tempat barang-barang, melainkan sebagai penanda  akan seseorang perempuan yang berada di puncak piramida, memiliki status sosial yang tinggi, mewah dan berkelas, sekaligus  dapat menggambarkan kebebasan finansial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline