Lihat ke Halaman Asli

Iin Indriyani

Penikmat Keheningan

Aku yang Tak Terlihat

Diperbarui: 27 Maret 2020   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Aku tidak tahu asalku darimana. Aku tidak tahu orangtuaku siapa. Aku tidak tahu apakah aku punya saudara. Aku tidak tahu di Puskesmas mana aku dilahirkan. Sungguh, aku tidak tahu. Sejak kecil aku tinggal dengan seorang Nenek tua yang tak bisa bicara. Di gubuk reot beratap rajutan daun kelapa. Yang jika hujan, air masuk kemana-mana. Sering aku bertanya, aku ini anak siapa? Tetapi Nenek tak pernah menjawab. Jelas saja, Nenek bisu cukup lama. 

Tetangga bilang, aku ini anak pungut. Yang tidak diinginkan kelahirannya. Hatiku selalu bertanya-tanya, apakah ada manusia sekejam mereka? Orangtua kandungku? Kenapa mereka memberikanku pada orang lain? Kenapa mereka tidak membunuhku saja? Bukankah aku tidak akan merepotkan Nenek bisu yang sebatangkara ini? Kenapa hidup amat kejam kepadaku?

"Hai, Mamat. Apa kamu tidak mau sekolah? Apa kamu hanya ingin mengamen sampai besar nanti? Apa kamu tidak punya cita-cita. Hahaha.." 

Aku selalu diejek oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyedihkan. Siapa yang tidak mau sekolah? Semua orang pasti ingin sekolah. Tapi melihat mereka seperti itu, membuat aku tidak terlalu rugi tidak sekolah. Lihatlah mereka, apakah anak sekolah dididik seperti itu? Mengejek, menghina, merendahkan? Kalau begitu, lebih baik aku jadi pengamen yang punya sopan santun. 

Namaku bukan Mamat. Tapi Ahmad. Karena Nenek bisu, jadi beliau tidak bisa mengucap namaku dengan benar. Tak apalah, Mamat atau Ahmad bagiku sama saja. Aku anak jalanan, seorang pengemis cilik yang tak pernah terlihat. Siapa juga yang peduli padaku? Tidak ada. Hanya Nenek saja yang akan mencari-cari aku, jika sampai malam aku belum pulang dari mengamen di jalanan.

Suatu hari, aku pernah pulang larut malam karena sebuah kejadian. Aku hendak membeli makanan di warung. Uang hasil mengamenku seharian. Lumayan, dapat dua puluh dua ribu. Hari itu aku ingin sekali beli ikan goreng yang besar untuk Nenek. Kasihan, setiap hari beliau hanya makan tempe dan tahu. Tapi niat baikku gagal. Keluar dari warung makan, aku melihat orang gila wanita yang sedang mengorek-orek sampah. Aku yakin, dia kelaparan. Seketika aku sedih. Ia pasti sangat lapar. Aku tambah kaget saat melihat perutnya yang besar. Ya ampun, wanita gila itu hamil. 

Aku tak habis pikir kenapa dia bisa hamil. Satu bungkus nasi dengan ikan goreng berukuran besar langsung aku berikan padanya. Awalnya aku merasa takut. Matanya melotot ke arahku. Rambutnya pendek tak terawat. Mirip sarang burung pipit yang nangkring di sawah-sawah. Amburadul.

"Ini ada makanan. Ibu boleh makan." Aku berkata sedikit gemetar. Takut ia akan menyakiti tubuhku. Kelihatan galak orangnya.

Wanita gila itu langsung mengambil bungkusan nasi dari tanganku. Membukanya dengan cepat, dan makan dengan lahap. Melihat pemandangan itu, aku tergugu. Ternyata berbagi itu indah. Dan berbuat baik itu tidak susah. Amatlah sederhana. Paling tidak sebungkus nasi itu bisa mengganjal perut buncitnya hingga esok hari. Akan tetapi, akupun menitikkan airmata. Nenekku belum makan. Perutku sendiri lapar. Sangat lapar. Tapi uangku tak cukup membeli sebungkus makanan lagi. Sisa tiga ribu saja. 

Akhirnya aku tidak jadi pulang. Aku kembali ke terminal dan kembali mengamen di pinggiran jalan. Berharap ada orang yang mau berbagi. Rezeki yang mereka dapat dari kasih Tuhan. Lama kugerakkan kecrek di depan banyak orang. Aku tak sengaja melihat dompet salah seorang bapak yang terjatuh di depanku. Bapak itu tidak tahu. Secepatnya kuambil dan kukejar bapak tersebut. 

"Maaf, Pak. Ini dompetnya jatuh." Aku berkata dengan napas ngos-ngosan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline