Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim Abdul Halim

Mengamati Kebijakan Publik

Polemik Pembatalan Haji

Diperbarui: 8 Juni 2020   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kementerian Agama telah resmi membatalkan Haji sejak 2 Juni 2020. Pembatalan ini menimbulkan pro-kontra bagi publik, dan untuk itu ada beberapa catatan saya.

Pertama, Kementerian Agama tidak melibatkan Komisi VIII DPR-RI dalam memutuskan pembatalan haji. Konferensi Pers Menteri Agama yang mendadak menyalahi aturan di mana seharusnya keputusan tersebut dikeluarkan setelah ada kesepakatan di Senayan. Ini menjadi blunder kesekian kalinya Menteri Agama Fachrul Rozi di hadapan DPR.

Kedua, Arab Saudi belum memberikan keputusan pelaksanaan ibadah haji 2020. Bahkan saat ini sebagian masjid termasuk di Haram sudah dibuka dengan jamaah terbatas sesuai protokol kesehatan. Ini menunjukkan adanya optimisme bahwa Ibadah Jamaah mulai bisa diselenggarakan sekalipun dalam kondisi Pandemi, termasuk Haji.

Ketiga, dari dua catatan tersebut terlihat ada indikasi bahwa Kemenag berusaha cari selamat sebelum pengumuman resmi Saudi. Pasalnya, dugaan terbesar untuk keputusan Saudi adalah diselenggarakannya haji terbatas untuk negara-negara dengan penanganan Covid-19 yang baik, atau Haji untuk seluruh negara tapi dengan pemotongan kuota dan bukti bebas Covid. 

Jika dugaan pertama yang terjadi, maka kemungkinan Indonesia tidak masuk di dalamnya. Jika dugaan kedua yang terjadi, maka harus ada tes swab untuk calon jamaah haji yang berangkat, di mana dalam hal ini kemampuan tes kita terbatas dan BPKH tidak sanggup lagi menanggung dananya.

Keempat, setelah resmi diputuskan, maka dana haji alokasi tahun ini menjadi dana "nganggur". Dalam situasi ekonomi yang sulit dan dibutuhkan banyak stimulus, dana haji tersebut rentan digunakan untuk keperluan lain. Misalnya dalam satu statement BPKH mengatakan kepada BI bahwa dana haji bisa digunakan untuk stabilisasi rupiah. Transformasi dana kelola dari valuta ke Rupiah dalam kondisi kemerosotan nilai rupiah tentu bisa menimbulkan kerugian.

Kelima, jika biaya haji tahun ini yang sekitar Rp 15 Triliun tetap menjadi dana kelola, maka seharusnya BPKH memiliki total dana kelolaan sekitar Rp 133 Triliun. Dengan return BPKH saat ini, nilai manfaatnya di tahun depan bisa mencapai Rp 8,5 Triliun. Angka ini seharusnya cukup untuk memastikan bahwa tahun depan jamaah tunda tahun ini tidak mengalami kenaikan biaya, dalam kondisi apapun.

Pada akhirnya, Pemerintah harus sadar pembatalan haji memberikan dampak emosional pada calon jamaah, dan urusan ini tidak bisa diganti dengan urusan finansial seperti pengembalian setoran lunas. Inilah biaya terbesar dari pembatalan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline