Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Hindu Nusantara, Relasi dengan Hindu Dunia

Diperbarui: 3 Oktober 2022   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gubernur Bali, Wayan Koster dan Dirjen Bimas Hindu, I Nengah Duija mencetuskan Hindu Nusantara sebagai basis pembinaan Hindu di Indonesia (Suratanbali.com, 2/10/2022).

Pembinaan Hindu berbasis lokal (Jawa) telah mulai dilakukan pada zaman Dharmawangsa sekitar abad ke-10 Masehi. Tradisi ini terus dilanjutkan sampai era Majapahit pada abad ke-16 masehi. Tradisi ini membangun kekhasan Hindu di Nusantara. Kekhasan ini pada awalnya, pada penggunaan bahasa lokal (Jawa Kuno), kemudian bergerak kepada penafsiran kitab suci.

Karya-karya Jawa Kuno ini masih menggunakan aturan lagu (canda) Veda (India). Misalkan Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular masih menggunakan canda seperti Sardulavikridita yang merupakan canda dalam Veda dan sastra-sastranya. Hal itu menandakan Mpu Tantular merupakan murid dari perguruan-perguruan Veda, yang mungkin ada di Srivijaya atau langsung ke India.

Menurut babad ayah dari Mpu Tantular adalah Mpu Bharadah, yang menunjukkan sebutan lain dari Bharadvaja yang merupakan nama keluarga brahmana di India. Mpu ini juga membangun Kota Kadiri di Jawa, yang menunjukkan nama suatu desa (Kadiri) di Andrapradesh-India (mapsofindia.com). Hal ini berkaitan dengan prasasti Airlanga yang menyatakan dirinya sebagai keturunan Dinasti Bharata.

Dinasti berikutnya Singasari juga mengaitkan dirinya dengan Mpu Logawe dari India yang mendidik Ken Arok untuk menjadi raja (Kidung Pararaton). Sanggrama Vijaya, pendiri Majapahit juga mengaitkan namanya (Vijaya) dengan dinasti besar India selatan yang bernama Vijayanagara (vijayanagara.wikepedea, 2022). Kitab Nagarakertagama mencantumkan nama-nama Sanskerta untuk raja-raja Majapahit.

Pada akhir Majapahit abad ke-16 masehi terjadi perlawanan terhadap teks-teks besar Sanskerta, terbukti dari munculnya karya-karya kidung yang menggunakan nama-Nama lokal seperti Kidung Pararaton. Candi-candi lokal seperti punden berundak juga dibangun seperti Candi Ceto-Jawa Tengah.

Perlawanan terhadap teks-teks besar Sanskerta pada era itu (abad ke-16 masehi) tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di India sehingga muncul agama-agama bhakti yang menggunakan bahasa lokal India.

Contohnya Mira Bhai (britannica.com). Perkembangan kelokalan ini menyebar ke berbagai bagian India sampai ke India selatan. Kelokalan ini memunculkan agama baru seperti Sikh, yang merupakan kelokalan Hindu di wilayah Sindhi, sehingga bahasa awal kitab-kitab Sikh menggunakan bahasa lokal Sindhi, sebelum kemudian menggunakan bahasa Hindi yang digunakan lebih luas di India.

Kelokalan itu berkembang karena adanya jarak antara Sanskerta dengan agama masyarakat. Di Jawa, Sanskerta hanya digunakan para brahmana dan raja-raja sehingga masyarakat biasa mengembangkan sendiri agama masyarakat.

Di India juga terjadi jarak yang sama dengan Sanskerta akibatnya hancurnya perguruan-perguruan Hindu setelah serangan dari Turki dan Mughal dari abad ke-11 sd 16 Masehi, termasuk di dalamnya hancurnya Universitas Nalanda akibat serangan Turki sekitar abad ke-11 Masehi (Nalanda-Wikepedea, 2022).

Kelokalan Abad ke-21

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline