Lihat ke Halaman Asli

Rio Estetika

Dengan menulis maka aku Ada

"Estetika", Cukupkah Soal Seni?

Diperbarui: 30 Januari 2020   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: artsy.net

Humaniora Aesthetic-- Estetika menjadi salah satu cabang filsafat yang cukup sakral dalam pengkajiannya. Estetika dalam sekilas benak orang diterjemahkan dalam sebuah pengertian keindahan, semua yang indah-indah itulah estetika seperti Indah Dewi Pertiwi atau yang mulus, halus cantik itulah estetika.

Eh, bukan ding he..he. Mulus,halus, cantik itu ekspektasi ibu-ibu sosialita habis spa di salon estetika. Ada kalanya orang ketika menemukan kata "estetika" otomatis langsung menjustifikasi pada seni dengan segala pernak-perniknya. Lantas apakah benar "estetika" itu keindahan soal bentuk rupa dan seni? Yuk, kita simak penjelasannya.

Pada zaman dahulu, utamanya di era Yunani, pengertian estetika tidak hanya mencakup soal seni tetapi juga mencakup alam dan perilaku manusia. Seiring bergulirnya sejak abad XIX dan  munculah lagu "Andaikan Waktu" hingga sekarang wacana estetika mengalami persempitan dan cenderung hanya mengarah kepada lingkup seni saja. Banyak pakar filsafat menanyakan penyempitan makna tersebut  dan ingin mengembalikan lingkup definisi estetika seperti zaman dahulu. Upaya tersebut kemudian diprakarsai dengan munculnya estetika keseharian (everyday aesthetics). 

Konsep estetika keseharian terinspirasi dari tulisan John Dewey, Art as Experience (Seni sebagai Pengalaman) di tahun 1934. Ringkasnya dalam buku tersebut John Dewey menjelaskan bahwa pengalaman estetik adalah sesuatu yang mungkin terjadi dalam setiap aspek kehidupan keseharian manusia.

Sumartono, P.hd menuliskan dalam Jejak-Jejak Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (2019), estetika keseharian adalah estetika inklusif, tidak hanya menyagkut seni, namun juga alam dan pernik tindakan manusia. Amien Rais dalam  buku Tauhid Sosial (1998) sedikit menyinggung persoalan estetika.

Dalam buku tersebut dikatakan bahwa segala tindakan yang didasarkan atas tauhid dalam Islam, membantu orang lain yang mengalami kesusahan sambil membebaskannya dari pengaruh sikap menyekutukan Allah. Tindakan semacam ini bukan semata-mata tentang moralitas, tetapi juga jenis estetika yang bisa disebut sebagai "estetika keseharian".

Banyak perguruan tinggi terkemukan mulai mempublikasikan tulisan-tulisan tentang estetika keseharian. Contohnya, Universitas Stanford secara khusus menerbitkan literatur tentang estetika tersebut melalui forum Stanford Encyclopedia of Philosophy.

Berikut sedikit tulisan tentang estetika keseharian yang muncul dalam forum tersebut pada 30 September 2015:

"In the history of Western aesthetics, the subject matters that received attention ranged from natural objects and phenomena, built structures, utilitarian objects, and human actions, to what is today regarded as the fine arts. However, beginning with the nineteenth century, the discourse has become increasingly focused on the fine arts. This narrowing attention occurred despite the prominence of the aesthetic attitude theory in modern aesthetics, according to which there is virtually no limit to what can become a source of aesthetic experience. The tendency to equate aesthetics with the philosophy of art became widespread in twentieth century aesthetics, particularly within the Anglo-American tradition. Challenges to this rather limited scope of aesthetics began during the latter half of the twentieth century with a renewed interest in nature and environment, followed by the exploration of popular arts. Everyday aesthetics continues this trajectory of widening scope by including objects, events, and activities that constitute people's daily life. However, it is more accurate to characterize this recent development as restoring the scope of aesthetics rather than opening a new arena."Dilansir dari sini  (30/1/2-20).

Dalam sejarah estetika Barat, pokok pembahasan yang menjadi perhatian berkisar pada objek dan fenomena alam, struktur yang dibangun, objek utilitarian, dan tindakan manusia, hingga apa yang sekarang dianggap sebagai seni rupa. Namun, dimulai dengan abad kesembilan belas, wacana telah menjadi semakin terfokus pada seni rupa.

Perhatian yang menyempit ini terjadi terlepas dari keunggulan teori sikap estetika dalam estetika modern, yang  hampir tidak ada batas pada apa yang bisa menjadi sumber pengalaman estetika. Kecenderungan untuk menyamakan estetika dengan filsafat seni menjadi tersebar luas dalam estetika abad kedua puluh, khususnya dalam tradisi Anglo-Amerika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline