Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Pada Akhirnya, Kita Menulis Sejatinya untuk Siapa?

Diperbarui: 26 Oktober 2021   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menulis, sumber: Unsplash via teen.co.id

Di media sosial, sekarang banyak sekali orang suka mempertontonkan bentuk tubuh dari atas sampai bawah, yang terbaik ditonjolkan, sesekali setelah berolahraga. Seperti mereka, jarang yang sedikit pengikutnya. Yang terparah, tergolong kaum ekshibisionis.

Ada usaha keras untuk merawat tubuh. Atur pola makan dan berolahraga teratur. Bisa sampai membuat pantangan ini dan itu. Tidak banyak pikiran dan istirahat cukup agar wajah tidak mudah keriput.

Mereka menjaga penampilan untuk dengan sengaja diumbarkan, oleh sebab berbagai motif. Kita hanya bisa menebak. Barangkali ingin menjadi inspirasi bagi orang lain. Bisa jadi mau cari pasangan lewat media sosial. Boleh pula menggaet banyak pengikut.

Namun, semua ada masanya. Jikalau hal-hal itu yang menjadi alasan, rutinitas olahraga tidak akan berlangsung lama. Jika pengikut sudah banyak, pasangan telah didapat, belum terhitung lagi karena bosan, maka perlahan badan -- tanpa disadari biasanya -- akan kembali melar.

Beda dengan karena semata-mata menjaga kesehatan. Ini alasan abadi, bentuk mencintai dan menghargai diri sendiri, sehingga akan dilakukan kapan pun dan di mana pun, tanpa menganggap perlu untuk dipublikasikan.

Menulis dan berolahraga 

Begitu pun menulis. Kita menulis untuk siapa sebetulnya? Apakah untuk media tempat kita bernaung? Apakah untuk berupaya memperlihatkan eksistensi kita sebagai penulis?

Apakah demi memuaskan kepentingan pembaca? Terkadang, kalau dipikir-pikir benar, salah satu dari ketiga itu bisa jadi menjadi motif kita menulis selama ini.

Ingin mendapat penghasilan dari media. Ingin lebih banyak orang tahu bahwa kita seorang penulis. Ingin memberikan karya terbaik bagi pembaca.

Tetapi, ada saat di mana ketiganya tidak tercapai. Masihkah kita mau menulis? Masihkah kita bersemangat merangkai kata demi kata, menyusun cerita, atau membuat opini?

Untuk siapa sebetulnya kita rela menghabiskan waktu di depan laptop, berpikir terkadang sampai di luar kepala, belajar bahasa Indonesia sebisa mungkin, yang kesemuanya itu adalah lelah adanya, tetapi menjadi tidak terasa karena kita suka?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline