Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Nenek Masih Main Gundu

Diperbarui: 2 September 2021   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gundu, sumber: Pixabay

Sebagian anak kecil duduk di tanah dan terdiam. Sebagian lagi jongkok dan tertawa renyah. Tangan-tangan mereka memegang beberapa butir gundu beraneka warna, yang sudah dibawa dari rumah, tetapi urung dimainkan sore itu.

Betapa mereka kaget melihat sesuatu yang tidak biasa. Mengejutkan dan terbilang sebagai kejadian baru di desa itu. Seorang wanita lanjut usia mengenakan kain jarik bermotif keris, datang tergopoh-gopoh sambil membawa sebuah plastik kecil bening, yang isinya tentu saja juga mengherankan.

"Main gundu yok, Nak," kata wanita itu dengan suara parau. Wanita itu jongkok di tanah. Kain jarik sedikit terbuka. Tangan kirinya menggosok-gosok sirih pinang berwarna kuning yang sedikit keluar seperti hampir jatuh dari bibir.

"Nenek siapa?" tanya salah satu anak. Barangkali itu pertanyaan wajar yang diajukan pada seseorang yang belum kenal. Peribahasa pun bilang, tak kenal maka tak sayang. Meskipun belum tentu, yang telah dikenal pasti disayang.

Ya, kejadian itu sudah saya duga. Tetapi, mau bagaimana lagi? Adalah sebuah perbuatan keterlaluan jika saya meninggalkan ibu sendirian di rumah gubuk di kampungnya itu. Kakak dan adik saya tidak ada yang mau rawat. 

Tidak ada yang ingat, siapa yang mengantar mereka waktu kecil ke sekolah, mengajari membaca dan berhitung. Tidak ada yang ingat, betapa besar jasa ibu membesarkan mereka. Tidak ada yang ingat, betapa pundak yang sudah semakin bungkuk itu telah susah payah menggendong mereka. Habis manis sepah dibuang, apa demikian memang nasib sebagian orangtua saat lanjut usia?

Saya tidak mau itu terjadi pada diri saya. Sebagaimana seseorang pernah berkata bahwa jika kita ingin hal baik terjadi dalam diri kita, maka berbuat baiklah seperti demikian yang kita harapkan, saya putuskan membawa ibu ke rumah saya di desa ini.

Membawa pula risiko-risiko jadi bahan omongan tetangga.

"Coba bayangkan, Bu. Masak Bu Minten, ibunya Minah, yang sudah kempot pipinya itu, masih main gundu sama anak saya?" kata seorang ibu suatu saat dengan tetangganya.

"Ah! Masak iya, Bu? Siapa tadi ibu bilang? Bu Minten ...."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline