Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 2)

Diperbarui: 25 Agustus 2021   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sebuah bangku taman di bawah pohon Beringin, sumber: Pixabay.com

Cerita sebelumnya: Di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu

Aku tidak menyangka, surat pendekku itu dengan tulisan yang kusamar-samarkan pada sampul cokelatnya telah kau baca. Padahal, aku menaruhnya pada bagian terbawah dari sekian banyak surat yang memenuhi kotak posmu. Aku pun ingat, sebagian kertas suratku hampir keluar jatuh ke tanah.

Sebelum aku pergi meninggalkan rumahmu yang memiliki begitu banyak kenangan tentang kita, aku mendengar Husky menggonggong kencang. Anjing Polimeranianmu menghampiriku. Lidahnya menjulur-julur. Aku tahu ia ingin mengajak bermain. Aku tahu pula, ia kenal betul bau badanku.

Tetapi, karena aku tidak ingin kau temukan siang itu, aku merelakan kesukaanku bermain dengannya dengan pergi begitu saja. Aku masih sempat mengintip ke dalam halaman rumahmu. Apakah bangku taman di sana masih tetap atau sudah berubah? Apakah lampu berwarna ungu yang selalu menambah kesyahduan kita saat berdua masih menyala? 

Ingin rasanya aku duduk menunggumu di bangku halaman itu, tetapi sayang, semua sudah hilang dan berubah kulihat, entah mungkin karena kekasihmu yang kau pilih dulu telah mengubahnya? Atau, kau sendiri? 

Kurasa tidak mungkin. Terbukti, kau pasti masih mengingat kenangan itu. Mengingatku dan mencariku di sini. Tidak mungkin tanpa alasan kau bersusah payah datang ke taman ini.

Jujur, aku senang melihatmu dari kejauhan. Aku pun senang, kau masih mengingat tata krama yang paling kubenci jika dilanggar orang. Bagaimana kau berjalan hati-hati di atas batu-batu, tidak menginjak rumput, bahkan tidak pula memetik daun dan bunga di sekitar.

Kau tahu benar bagaimana aku berupaya memberi tempat tertinggi bagi tanaman untuk memiliki kesempatan hidup yang sama dengan manusia. Mereka hadir tidak mengganggu, bahkan begitu bermanfaat dalam diamnya. Sudah sepantasnyalah kita tidak menyakiti mereka.

Wangimu tidak berubah. Parfum kecokelatan yang begitu menyegarkan berembus bersama angin, merasuk ke dalam penciumanku, dan berhasil mengulas kembali kenangan-kenangan kita waktu dulu.

Kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan. Kenangan yang begitu sakit jika dirasakan. Kenangan yang selalu membuat hatiku berdebar-debar. Tidak ada kata yang mampu menjelaskan betapa hangat jika aku mengenangnya. Kenangan yang terjadi di antara kita, di bawah pohon Beringin, di taman ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline