Lihat ke Halaman Asli

Hiqma Nur Agustina

Penulis, dosen, peneliti, penikmat sastra, dan traveler

Body Shaming, Negatif atau Positif?

Diperbarui: 21 November 2020   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Body shaming adalah reminder untuk koreksi diri

Beberapa bulan ini kita semakin banyak mendengar tentang istilah-istilah baru dalam keseharian kita. Indonesia adalah gudangnya para creator dan orang-orang kreatif. Beberapa istilah dimunculkan berkaitan dengan kebaruan aktivitas, produk, hingga peluncuran ikon. Mulai dari gabut, mager, gemoy, santuy, kepo, dan masih banyak lagi lainnya. Dari semua kata baru tersebut ada satu frasa yang cukup menarik perhatian saya, yakni Body Shaming. Frasa ini memiliki arti tindakan mengomentari bentuk fisik seseorang baik dilakukan dengan sengaja atau tidak. Efeknya pun beragam bagi orang-orang yang mengalami Body Shaming. Saya pun berusaha melakukan riset kecil-kecilan terkait perlakuan Body Shaming ini, bahkan saya pun pernah mengalaminya. Belajar dari pengalaman ini, saya tuliskan dalam tulisan kali ini.

Satu hal yang pasti kita tidak akan pernah bisa mengontrol komentar dan opini orang lain terhadap kita. Apapun itu. Baik yang baik, maupun yang buruk. Dari pemahaman ini, saya pun berusaha melakukan pembalikan mindset dari yang negative harus diubah ke positif. Semua tergantung dari sudut pandang dan cara kita menyikapinya. Bila kita mampu membiasakan diri untuk memandang segala sesuatu dari kacamata positif, maka kita pun sudah dapat mengurangi munculnya konflik.

Saya melakukan 5 hal berikut untuk mengolah mindset saya terhadap Body Shaming.

1.Mengubah mindset

Langkah pertama saya ketika mendapat Body Shaming adalah dengan mengubah mindset. Mendapat komentar, "Kamu sekarang gemuk, ya!" atau "Badanmu melar ya sekarang" sungguh tidak mengenakkan di awal, tetapi kemudian saya mengolah dan mengubahnya menjadi, "Okay, terima kasih untuk masukannya." Kalimat yang merujuk pada Body Shaming ini kemudian saya jadikan sebagai pemicu untuk melakukan refleksi bukan penolakan apalagi sampai merasa insecure. Usaha saya lakukan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Thanks anyway, for the suggestion!

2. Baperan? Itu bukan saya banget!

Satu hal yang pasti kita tidak akan pernah bisa mengontrol mulut dan perkataan orang lain terhadap kita. Apa seumur hidup kita harus selalu merasa insecure atas komentar orang lain? Kalau saya jelas memilih tidak. Untuk apa? Badan dan pikiran adalah murni milik saya. Perkataan orang yang berkaitan penilaian tubuh atau performa saya tidak saya masukkan ke hati. Paling juga hanya lewat selintas. Hilang ditiup angin. That's it! Tanamkan dalam pikiran kita dan mensugestinya dengan selalu mengucapkan, "Aku bukan tipe orang baperan. I'm fine."

3. Jadikan sebagai pemicu untuk berubah

Body shaming berkaitan erat dengan penilaian atas penampilan fisik kita. Jangan masukkan ke hati sebagai ejekan, cemohan, kritik pedas tetapi balik menjadi pemicu untuk berubah dan melakukan perenungan. Sepertinya inilah waktunya saya mengubah gaya hidup dan pola makan sehat. Tujuannya adalah supaya memiliki tubuh dan performa yang sehat yang dapat kita sendiri nikmati bukan orang lain. Inilah pentingnya untuk mengedepankan komentar orang lain menjadi pemicu perubahan positif dalam hidup kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline