Lihat ke Halaman Asli

Andi Himyatul Hidayah

If you can not do great things, do small things in a great way.

Perempuan (Buruh) Migran

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan (Buruh) Migran

Oleh : Andi Himyatul Hidayah

Banyak orang mengimpikan dan berharap bisa berkunjung bahkan tinggal di luar negeri. Kedengarannya menyenangkan dan agaknya juga menjadi salah satu daya pikat para pencari kerja. Melalui migrasi, mereka dapat membangun impian dan berharap dipandang sebagai orang sukses. Padahal perempuan migran kerapkali juga menghadapi anggapan atau pandangan buruk dari masyarakatnya. Sekalipun harus meninggalkan nilai-nilai keluarga dan masyarakat, segala upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

Dalam beberapa kesempatan bertemu dan berbincang dengan perempuan (buruh) migran di negeri jiran dimana alasan mereka tidak semata karena uang. Ada juga dari mereka -- perempuan muda -- yang belum berkeluarga cenderung melihatnya sebagai kesempatan mencari pengalaman di negeri orang. Sebuah alasan klise yang tentu ujung-ujungnya juga karena uang. Syukur-syukur bila mereka beruntung mendapatkan majikan yang baik hati dan penghasilan yang lumayan.

"Iya lho mbak, tiga tahun yang lalu saya diajak tetangga di kampung. Setamat SMA karena tak ada biaya untuk kuliah, dulu pinginnya ke Arab, tapi urusannya ribet. Pengen lihat Arab itu seperti apa lho, Mbak. Tapi, Iya sudah ke Malaysia sini saja. Akhir tahun ini kontrak saya dengan majikan sudah habis, pinginnya pulang saja. Suruh pulang sama Bude, katanya mau dinikahin. Tapi, yah … gimana yah, jadi bingung jadinya, Mbak", perbincangan saya dengan seorang perempuan migran yang saya lupa menanyakan namanya di suatu kesempatan.

Berbeda dengan Ibu Surti (nama samara), seorang ibu yang usianya kira-kira 45 tahun, yang sering saya temui di sebuah stasiun komuter. Satu pengakuan yang membuat saya tersentak. Ibu Surti adalah buruh migran yang mengaku sudah lima tahun di negeri jiran dan kerja berpindah-pindah. Dua tahun terakhir bekerja sebagai (nanny) penjaga anak majikan.

Tergambar kesedihan di raut wajah perempuan itu tiba-tiba ketika saya berbincang tentang anak. "Anak saya dua orang. Yang pertama tahun ini lulus SMP, sedang anak kedua sekarang kelas V SD. Beruntung saya boleh pulang sekali setahun untuk menjenguk mereka. Itu kalau anak majikan saya libur sekolah", cerita Ibu Surti lirih. Saya dapat memahami kegalauan hati perempuan itu. Seorang Ibu yang berjuang untuk putra-putrinya. Menjadi nanny dengan mengurus anak-anak majikannya di negeri orang, dengan harus meninggalkan putra-putri kandungnya sendiri.

Potret dua perempuan migran sebagaimana yang telah dikisahkan di atas tentu akan selalu menarik untuk diperbincangkan. Perempuan (buruh) migran; mengapa harus perempuan itu, mengapa harus ibu itu ? Bukankah itu lebih baik untuk laki-laki saja, untuk suami-suami mereka saja ? Tapi ada hal yang bisa dilakukan oleh perempuan dan kurang pantas untuk laki-laki. Mereka memerlukan tangan perempuan, dan perempuan pun berhak untuk mendapatkannya, semisal kebebasan dan posisi tawar, katanya.

Perempuan migran, tapi, untuk urusan berangkat berhaji saja perempuan disyaratkan dengan muhrimnya, bukan ? Lalu, mengapa keluarga, masyarakat dan negara membiarkan perempuan-perempuan itu bermigrasi ke luar negeri meninggalkan rumah, keluarga dan kampung halamannya (dalam waktu yang lama) tanpa disertai oleh muhrimnya ? Apakah migrasi perempuan untuk menjadi buruh ke luar negeri berbeda kedudukannya dengan urusan berangkat haji ? Jangan dicampur aduk, katanya.

Tapi, mari kita sama-sama renungkan hadis Rasulullah SAW ! Sebagaimana Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mendengar Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda,  "Seorang laki-laki tidak boleh bersama seorang perempuan, kecuali adanya seorang muhrim bagi perempuan itu. Dan seorang perempuan jangan berpergian kecuali dengan muhrim". Seorang sahabar bertanya, "Wahai Rasulullah, istri saya akan berangkat menunaikan haji sementara saya sudah terdaftar untuk pergi berperang". Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu !"

Tetapi bagaimana pun, perspektif perempuan (buruh) migran seringkali dilihat dari sisi yang berbeda. Maka, nilai-nilai keluarga, masyarakat, bahkan agama akan dikesampingkan untuk atas nama kebutuhan, pendapatan, kebebasan, dan hak asasi. Itu memang pilihan, tapi pilihan yang mungkin terpaksa karena sulitnya bagi mereka untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik di negerinya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline