Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Economic Aspects in Delayed-Marriage Decision

Diperbarui: 16 April 2021   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. HIMIESPA FEB UGM

Seiring berjalannya waktu, pernikahan mulai dipandang secara berbeda dari sebelumnya. Pernikahan sudah tidak dilihat sebatas institusi keagamaan dan “sehidup semati” (Grossi, 2014). Tak hanya perubahan pandangan terhadap pernikahan, perubahan terkait kapan waktu yang tepat untuk menikah juga terjadi di berbagai negara. Hal ini berimbas pada semakin banyaknya negara yang mengalami tren penundaan pernikahan walaupun dengan kecepatan berbeda. 

Trend in Marriage

Baik negara pendapatan tinggi maupun negara pendapatan rendah, masing-masing cenderung menunjukkan tren penundaan pernikahan. Tak hanya itu, tren peningkatan usia rata-rata pria dan wanita saat pernikahan pertama juga dirasakan oleh sebagian besar negara di dunia. Berdasarkan laporan World Bank (2020), sejak 1995 hingga sekarang, terjadi  peningkatan usia rata-rata pria dan wanita saat menikah pertama kali. Eropa dan Asia Tengah menjadi bagian dunia dengan usia rata-rata tertua saat menikah pertama kali, yaitu 27 dan 30 tahun untuk wanita dan pria.

Hasil survei yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD (2016) juga mendukung laporan yang dikeluarkan oleh World Bank. Berdasarkan survei OECD di negara anggota pada tahun 2016, usia rata-rata wanita dan pria saat menikah pertama kali adalah 30 dan 32 tahun. Apabila dibandingkan dengan 1990-an, telah terjadi peningkatan usia rata-rata menikah yang tadinya 25 tahun untuk wanita dan 27 tahun untuk pria

Sumber : OECD 2019 

Tren penundaan pernikahan juga dirasakan oleh beberapa negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Korea Selatan. Dilansir dari The Korea Herald (2017), pada tahun 1996 pria dan wanita Korea rata-rata memutuskan untuk menikah pada usia 28,4 dan 25,5 tahun. Namun, data tahun 2016 menunjukan rata-rata pria dan wanita Korea menikah saat mereka berusia 32,8 dan 30,1 tahun. Dalam konteks Korea Selatan, tren penundaan pernikahan sudah terjadi sejak tahun 1940 saat negara tersebut ikut terseret dalam Perang Dunia II, sedangkan tren tidak menikah mulai terjadi di Korea Selatan sejak 1960-an. Penundaan pernikahan yang terjadi di Korea Selatan ialah respon masyarakat terhadap industrialisasi, urbanisasi, dan meningkatnya partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi dan pendidikan yang terjadi di negara tersebut.

Namun, tren penundaan pernikahan kurang ditunjukan oleh negara di Asia Selatan seperti India. Berdasarkan National Family Health Survey (2017) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan India, sebanyak 40% wanita berusia 20-49 tahun menikah untuk pertama kali sebelum usia 18 tahun, sedangkan sebesar 26% pria berusia 25-49 tahun menikah sebelum usia 21 tahun.  Kondisi yang terjadi di Asia Selatan cenderung berbeda dengan negara di Asia Timur yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi secara rapid dan wanita dengan pendidikan tinggi telah menjadi suatu hal yang biasa (Jones, 2010).

Factors Affecting Delayed Marriage

Terjadinya modernisasi berperan dalam menjelaskan tren penundaan pernikahan yang dialami negara-negara di dunia. Wilbert E. Moore (1965) mendefinisikan modernisasi sebagai suatu transformasi total kehidupan dari kehidupan tradisional menjadi kehidupan yang bergerak ke arah pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil. Menurut Rossel (2017), kemajuan kegiatan ekonomi akibat modernisasi akan menstimulasi terjadinya urbanisasi, perbaikan birokrasi, demokrasi, kesetaraan gender, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan terciptanya peluang pekerjaan.

Kesetaraan gender, tingkat pendidikan, dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan seorang individu untuk menikah. Seorang individu akan dihadapkan dengan kondisi trade off antara manfaat yang ia terima apabila tidak menikah dan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja dengan manfaat yang ia terima sebagai pasangan. Menurut Oppenheimer dalam A Theory of Marriage Timing (1988), pasangan akan memutuskan untuk menikah karena mereka berekspektasi dapat meraih lebih banyak manfaat daripada saat mereka sendiri. 

Dari sisi wanita, tingginya tingkat pendidikan dan pendapatan cenderung akan menghasilkan keputusan untuk menunda pernikahan. Berdasarkan the economic independence hypothesis oleh Gary S. Becker (1981), tren untuk menikah menurun di kalangan wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tingginya potensi pendapatan yang mereka miliki akan mengurangi manfaat dari spesialisasi dan pertukaran yang ditawarkan oleh pernikahan. Namun, menurut Oppenheimer (1988), wanita berpendidikan bukan tidak menikah, tetapi menunda pernikahan untuk dilaksanakan di masa depan. Selain itu, studi yang dilakukan Chinhui Juhn dan Kristin McCue (2016) juga menunjukan bahwa wanita berpendidikan akan lebih mungkin untuk menikah karena dianggap lebih mampu menopang kestabilan pernikahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline