Sebaliknya, terjadi korelasi positif antara tingkat pendidikan dan pendapatan dengan keputusan seorang pria untuk menikah. Saat sudah memiliki kehidupan mapan dan merasa siap, seorang pria cenderung tidak menunda pernikahannya. Dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, seorang pria dianggap lebih mampu memenuhi perannya dalam pernikahan tradisional sebagai family breadwinner atau pencari nafkah.
Selain faktor ekonomi dan pendidikan, perubahan pandangan dan nilai terkait pernikahan turut mempengaruhi keputusan seseorang untuk menikah. Sebagian masyarakat sudah tidak melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban dan sebagai satu-satunya opsi yang tersedia. Pernikahan telah kehilangan tempatnya sebagai “syarat” untuk dapat melakukan hubungan seksual, melahirkan dan membesarkan anak, atau menghabiskan hidup bersama dengan pasangan (Manting, 1996). Muncul opsi kohabitasi atau dikenal dengan “kumpul kebo” sebagai opsi alternatif dari pernikahan. Kohabitasi sendiri ialah hidup bersama seperti pasangan yang telah menikah (Merriam-Webster, 2021). Bagi beberapa orang dewasa opsi “kumpul kebo” telah menjadi opsi lain yang dapat dipilih (Furstenberg, 2015)
Economic Factor Affecting Marital Stability
Pertimbangan faktor ekonomi tidak hanya digunakan untuk mengambil keputusan menikah atau tidak menikah. Kesiapan ekonomi atau finansial seseorang saat menikah juga akan mempengaruhi kestabilan pernikahan yang ia miliki. Penelitian yang diselenggarakan oleh Russell Sage Foundation pada tahun 2016 menunjukan adanya korelasi antara kekayaan, tingkat aset, dan kondisi hutang dengan kestabilan pernikahan. Menurut Conger, Conger, dan Martin (2010), wanita dan pria yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan lebih tinggi akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami masalah finansial dan ketidakamanan ekonomi dalam pernikahan. Sebagai contoh, sepasang suami istri dengan pendapatan yang lebih tinggi tidak perlu memikirkan apakah mereka masih dapat tinggal di tempat yang mereka tinggali.
Marriage and Gross Domestic Product
Ditemukan pula korelasi antara pernikahan dan tingkat PDB suatu negara. PDB atau Produk Domestik Bruto sendiri ialah nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam periode waktu tertentu. Tingkat PDB suatu negara nantinya secara tidak langsung akan mempengaruhi tren perbedaan usia pasangan yang menikah di negara tersebut. Hal tersebut dapat terjadi sebab negara dengan PDB tinggi akan mampu menyediakan berbagai fasilitas untuk penduduknya, termasuk fasilitas pendidikan.
Berdasarkan Mansour dan McKinnish dalam Who Marries Differently Aged Spouses? Ability, Education, Occupation, Earnings, and Appearance (2014), perbedaan usia pria dan wanita saat pernikahan pertama memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan dan kualitas dari individu bersangkutan. Pria dan wanita yang lebih terpelajar cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dengan sesama yang berusia sepantaran, lebih mungkin untuk melanjutkan pendidikan di sekolah pascasarjana dengan kualitas bagus, dan memiliki pekerjaan yang memungkinkan terjadi mobilitas sosial secara vertikal. Kesempatan ini kemudian membuka peluang terjadinya pertemuan dengan calon pasangan potensial yang memiliki jarak usia tidak terlalu jauh.
Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan World Bank (2020) mengenai perbedaan usia pasangan saat pernikahan pertama, negara di benua Eropa dan Asia Tengah dengan PDB yang lebih tinggi cenderung memiliki perbedaan usia pasangan yang lebih kecil daripada negara di Sub-Sahara Afrika yang cenderung memiliki PDB lebih rendah.
Fenomena kecenderungan seseorang untuk menikah dengan orang yang dianggap “selevel” juga dikenal dengan istilah assortative mating. Keberadaan assortative mating di antara pasangan dengan pendapatan tinggi atau menengah nantinya dapat melahirkan ketimpangan pendapatan (Schwartz, 2010). Apabila dibandingkan dengan kalangan wanita dengan suami berpendapatan rendah, peningkatan pendapatan dan partisipasi dalam angkatan kerja terjadi secara tidak proporsional di kalangan wanita yang memiliki suami berpendapatan tinggi atau menengah (Juhn dan Murphy, 1997). Hal ini nantinya akan menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin besar di antara pasangan-pasangan menikah (Schwartz, 2010).
Conclusion