Lihat ke Halaman Asli

Hilman Fajrian

TERVERIFIKASI

Mengubah Paradigma Migas Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1429095664673940357

[caption id="attachment_410241" align="aligncenter" width="300" caption="Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha menjelaskan soal transformasi paradigma industri migas di dunia, di Indonesia SCM Summit 2015, Jakarta Convention Center, Rabu (15/4/2015). Ia berharap Indonesia segera masuk ke dalam transformasi yang sama. (dokpri)"][/caption]

Dunia sudah memandang migas dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi dianggap sebagai sumber kekayaan atau pendapatan sebuah negara. Paradigma baru memandang migas sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Migas tak lagi dipandang sebagai sekedar komoditas untuk diperdagangkan, namun diamankan untuk ketahanan sebuah negara yang dibangun melalui ekonomi.

"Sekarang bukan lagi zamannya energi mengikuti industri. Sekarang industri mengikuti energi," ucap Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI di Indonesia SCM Summit 2015 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (15/4/2015).

Dalam acara yang digelar bersama oleh SKK Migas, Petronas dan British Petroleum (BP) 14-16 April 2015 tersebut, Satya bicara banyak hal strategis dalam tema Opportunities, Demand, Supply on Upstream Oil and Gas. Satya adalah politisi yang selama puluhan tahun malang melintang di dunia profesi industri migas.

"Migas bukan lagi revenue (pendapatan), tapi mesin penggerak," tegas Satya.

Perubahan paradigma ini sudah ditegaskan oleh 2 Wakil Presiden RI: Boediono dan Jusuf Kalla. Keduanya sama-sama menyepakati bahwa Indonesia harus bertransformasi dalam memperlakukan migas sebagai global value chain ke national value chain.

Satya mencontohkan pola lama yang dulu dilakukan pemerintah Indonesia. Kontraktor migas diundang dan ditugasi mengangkat migas. Lalu migas dijual dan dialirkan ke negara lain.

"Kita memang mendapatkan revenue, tapi industri negara lain yang hidup," tuturnya.

Ketika dulu Indonesia dan negara-negara di dunia berlomba-lomba mendapatkan penghasilan dari migas, maka saat ini penghasilan itu harus mengandalkan pertumbuhan ekonomi. Migas lah yang akan menggerakkan ekonomi tersebut.

Ia sebut, dulu Indonesia tidak peduli dengan mata rantai suplai hulu migas, misal berapa nilai kandungan lokal. Pokoknya migas terangkat dan terjual, Indonesia dapat devisa. Yang dilakukan Indonesia adalah menghidupi industri negara lain, dalam hal ini industri SCM hulu migas. Ini lah yang disebut dengan global value chain.

Dengan berubahnya paradigma soal migas, global value chain diubah menjadi national value chain. Industri migas nasional harus mampu menghidupkan industri lokal dengan mendorong kandungan lokal (local content) untuk dipakai di industri hulu migas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline