Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Tegal Membangun Sejarah

Diperbarui: 30 Juni 2016   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali mendengar percakapan menggunakan bahasa Tegal – bahasa Jawa dialek Tegal – mereka menoleh mencari sumber pembicaraan. Publik ada yang tersenyum, sebagian mengernyitkan kening, ada pula yang masa bodoh.

Berbeda dengan, jika pendengarnya juga penutur bahasa Tegal. Meski tetap saja diam – juga ada yang tak berusaha menoleh sumber percakapan – sebagian merasa familier dan mafhum. Mengerti dan “mengiyakan” dalam hatinya. Ya, sesama penutur bahasa Tegal, tentu saja bersahabat di forum publik, sudah terbangun secara otomatis “relationship” di antara mereka. Saling berterima. Setidaknya menerima kehadiran sesama penutur bahasa Tegal, yang berada tak jauh darinya. Seolah mendapatkan teman dari wilayah pengguna bahasa ibu yang sama pada sebuah perjumpaan di satu lokasi. Meski tetap saja diam.

Jauh dari percakapan di atas, bahasa Tegal menjadi bahan pembicaraan tersendiri. Menjadi topik pembahasan pada komunitas atau relasi tertentu. Atau memang sengaja dalam forum atau wacana tertentu.

Donge bahasa Tegal kuwe kepriben?Enyong pan mendefinisikan sebagai berikut, bahasa Tegal kuwe tuturan atawa ucapan sing nganggo aturan atawa sistimatika tertentu sing diomongna masyarakat Tegal nang wilayah Kabupaten Tegal, Kota Tegal, sebagian Kabupaten Brebes dan Pemalang kanggo mewakili salah sijining tindakan, keadaan, gagasan garo benda. Akar bahasa Tegal adalah bahasa Jawa Kuno. Penutur bahasa Tegal saat ini diperkirakan 2-4 juta. Ini kata rekan saya Sisdiono Ahmad dalam makalah  Membudayakan Bahasa Tegal Melalui Strategi Kurikuler di Sekolah pada Kongres Bahasa Tegal I, Bahari Inn, 4 April 2006.

Kongres Bahasa Tegal?

Ya! Itulah tonggak awal membangun sejarah. Membangun Bahasa Tegal.

Ya! Memang sudah sepuluh tahun lalu Kongres Bahasa Tegal I diselenggarakan.

Makalah lain pada Kongres yang sama dari B.K. Ekowardono dibuka paparan akademik sebagai berikut: berdasarkan pasal 32 UUD 1945  ayat (2) Bahasa Jawa disebut Bahasa Daerah. Ditetapkan dalam pasal itu bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 36 ditetapkan bahwa “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dsb.), bahasa-bahasa itu dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”

Selanjutnya menurut Guru Besar Universitas Negeri Semarang itu, istilah bahasa negara dan bahasa daerah adalah istilah politik, bukan istilah linguistik. Dalam peristilahan linguistik, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa dan sebagainya itu masing-masing disebut bahasa yang berbeda, sedangkan bahasa Jawa yang dipakai di daerah Tegal termasuk bahasa Jawa ragam setempat (ragam geografis) atau dialek.

Prof. Dr. B.K. Ekowardono lebih lanjut menuturkan bahwa secara politis, penyebutan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, dan bahasa - seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya - sebagai bahasa daerah, tentulah ada konsekuensi dalam hal fungsi bahasa itu masing-masing. Namun, dipandang dari segi undang-undang, bahasa yang secara linguistis disebut dialek, termasuk bahasa daerah juga. Maka,  dialek itu termasuk “sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup” dan termasuk “bahasa”  yang dimiliki oleh daerah tertentu yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik sehingga dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Pemuliaan bahasa Tegal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline