Lihat ke Halaman Asli

Soal Banjir: Jakarta Bisa Belajar dari Bangkok dan Kuala Lumpur

Diperbarui: 13 Januari 2020   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awal Tahun 2020 menjadi awal yang membuktikan bahwa belum optimalnya penanganan banjir khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Akibatnya ada sekitar 5 triliun rupiah lebih taksiran mengenai kerugian yang ditimbulkan pasca banjir melanda ibukota dan wilayah sekitarnya berdasarkan lansiran Bappenas. 

Bahkan pusat perekonomian dan pemerintahan ini nyaris lumpuh dan bisa saja mengancam keberlangsungan konstelasi di republik ini bukan tidak mungkin ramalan mengenai 2050 Jakarta akan tenggelam semakin nyata. Namun optimisme untuk menjaga keberlangsungan ibukota tersebut harus tetap terjaga karena hingga saat ini Jakarta masih menjadi pusat dari roda perjalanan Bangsa Indonesia. Sudah sewajarnya kita merawat dan menjaga bersama.

Lantas apakah kita memilih diam kemudian dengan mudah melontarkan kritikan dan kecaman kebijakan pemerintah yang selama ini diasosiasikan sebagai terdakwa atas buruknya sistem manajemen pengendalian banjir khususnya di wilayah Jabodetabek?

Sepertinya sangat tidak adil apabila tudingan yang begitu tendesius terus-menerus menggempur pemerintahan yang sah selama ini. Bila melihat secara komprehensif dan konstruktif bahwa ada berbagai macam faktor yang menyebabkan banjir yang terbilang parah tersebut melanda Jabodetabek. 

Misalnya saja faktor geografis yang meliputi kondisi Jakarta berada hanya 8 meter dari permukaan laut hingga dilalui oleh 13 sungai. Belum lagi konsumsi air tanah yang offiside dilakukan oleh warganya karena tidak adanya kebijakan yang mengatur secara proporsional serta berbagai macam perspektif yang memang meyakinkan banjir selama ini lazim terjadi.

Sekalipun demikian refleksi terhadap bencana banjir tersebut seyogianya direspon secara komprehensif sehingga terciptalah win-win solution yang bermanfaat untuk perbaikan sistem yang selama ini dinilai belum maksimal. 

Perbaikan ini dimulai dari kebijakan pemerintah yang partisipatif dan solutif tentang pengaturan sistem manajemen pengendalian banjir kemudian diterjemahkan dalam bentuk peraturan daerah yang melibatkan seluruh komponen terkait tanpa terkecuali masyarakat. 

Kebijakan yang dibuat pun diupayakan agar tidak politis namun populis tidak kompromistik namun solutif. Selain itu, agar segenap elit pemerintahan tidak lagi silang pendapat tetapi keseragaman pemahaman dan dedikasi untuk perbaikan bersama.

Indonesia khususnya Jakarta boleh bercermin dari Bangkok ataupun Kuala Lumpur tanpa mengesampingkan kota-kota lainnya di dunia yang terbilang sukses mengelola sistem pengendalian banjir dengan terstruktur, sistematis dan masif seperti Tokyo, Curitiba hingga Belanda. Manajemen pengendalian bencana banjir yang diterapkan di Bangkok atau Kuala Lumpur boleh dilirik karena memiliki koherensi wilayah yang hampir sama yakni keberadaan di Asia Tenggara serta kemiripan gejala sebab-akibat pasca bencana banjir.

Sekilas bahwa Bangkok adalah wilayah yang diramalkan tenggelam pada tahun 2023 mendatang, latar belakangnya jelas yakni keberadaan Bangkok 2 meter dari permukaan laut hingga daratannya yang turun 4 inci per tahunnya namun kesigapan dan upaya yang serius dari pemerintah serta kerjasama seluruh elemen masyarakat untuk membantu keberlangsungan wilayah tersebut terbukti sukses menjadi kota yang berdikari perihal manajemen pengendalian banjir melalui pipi monyet. 

Pipi monyet yang dimaksud adalah dengan membangun 21 wadah penampungan yang mengakomodir 30 Juta Kubik air hujan yang kemudian di saat musim kemarau didistribusikan untuk kegunaan irigasi dan lain-lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline