Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Sastra Jawa Balai Pustaka

Diperbarui: 15 Februari 2023   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku kajian mengenai sastra Jawa/Foto: Hermard

Pada tahun 1908, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur). Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1917, komisi tersebut direorganisasi menjadi sebuah badan penerbit yang diberi nama Balai Pustaka.

Pada saat itu oleh pemerintah, Balai Pustaka diserahi tugas  menyediakan bahan bacaan ringan dan murah bagi kaum pribumi yang telah memiliki kepandaian baca-tulis sesuai dengan program politik etis (etische politiek). 

Namun, ditinjau dari latar belakang pendiriannya, sangat jelas bahwa penyediaan bahan bacaan itu bersifat politis dan legitimatif karena tujuan utama diterbitkannya bacaan-bacaan itu  guna mengantisipasi peredaran bacaan yang  "menyesatkan" dari penerbit-penerbit swasta, di samping  menjaga keberlangsungan hegemoni kekuasaan. 

Ketika itu, pemerintah kolonial beranggapan bahwa bacaan-bacaan yang diterbitkan oleh penerbit swasta sangat membahayakan, baik dari segi moral maupun politik, sehingga bacaan-bacaan  itu perlu diantisipasi dan ditekan peredarannya. 

Karena adanya maksud-maksud tertentu itulah, melalui badan penerbit Balai Pustaka, pemerintah kolonial menerbitkan bacaan  didaktis pragmatis (bersifat mendidik) sebanyak-banyaknya.

Disadari atau tidak, berkat adanya persaingan atau antisipasi tersebut, sastra Jawa tumbuh dan berkembang dengan subur. Bahkan, menurut data yang dapat dilacak melalui katalog Balai Pustaka tahun 1920, sastra Jawa menduduki urutan pertama dalam hal jumlah buku yang diterbitkan (40 judul buku berbahasa Madura, 80 judul buku berbahasa Melayu, hampir 100 judul buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 judul buku berbahasa Jawa) (Rinkes dalam Quinn, 1995). 

Keadaan demikian-pelan tetapi pasti-terus berjalan sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan sastra Jawa, bagaimanapun juga, sangat ditentukan oleh Penerbit Balai Pustaka.

Sebagaimana diketahui, walaupun dalam dasawarsa kedua abad ke-20, Balai Pustaka telah menerbitkan sejumlah prosa Jawa yang memiliki ciri sebagai sebuah novel,  oleh Quinn (1995) disebut novelistik, pada dasarnya sastra Jawa memasuki babak baru pada tahun 1920, yaitu ketika Balai Pustaka menerbitkan novel Serat Riyanto karya Raden Bagus Soelardi (R.B. Soelardi). 

Serat Rijanto aksara jawa/Foto: Hermard

Serat Rijanto aksara latin/Foto: Hermard

Dikatakan demikian karena menurut Quinn, novel Serat Riyanto telah memiliki warna dan corak baru dalam hal isi dan teknik narasi sehingga novel tersebut berbeda dan tidak lagi menjadi penganut setia corak karya sastra pada masa sebelumnya yang cenderung didaktis-pragmatis. 

Itulah sebabnya, oleh para ahli sastra Jawa, tahun 1920 sering disebut sebagai tahun kelahiran sastra Jawa modern, walaupun masalah yang berkenaan dengan kata modern  sesungguhnya telah muncul di dalam beberapa karya sastra Jawa yang terbit sebelum tahun 1920.

Sebutan seperti di atas agaknya tidaklah mengada-ada karena sejak novel Serat Riyanto karya R.B. Soelardi terbit, pada masa-masa selanjutnya terbit beberapa novel yang secorak dengannya. Beberapa di antaranya adalah novel karya Jasawidagda, Kamsa, Asmawinangoen, Hardjawiraga, dan sebagainya yang semuanya diterbitkan oleh Balai Pustaka. 

Akan tetapi, keadaan yang menggembirakan tersebut ternyata hanya berlangsung sampai dengan awal tahun 1940-an karena sejak tentara Jepang datang dan menduduki wilayah Indonesia (Maret 1942-Agustus 1945), kegiatan produksi sastra Jawa nyaris mati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline