Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Gudeg Djuminten, Pionir Gudeg Yogya

Diperbarui: 21 Januari 2023   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gudeg B. Djuminten/Foto: Hermard

Seorang teman pernah mengatakan bahwa sesungguhnya, gudeg  merupakan sebuah masterpiece masakan masyarakat Yogyakarta. Di samping keterampilan, dibutuhkan kesabaran dan ketenangan dalam memasaknya. Tidak bisa kemrungsung. Dari pemilihan bahan hingga cara dan proses pengolahannya pun tak boleh serampangan. 

Penjual gudeg adalah "maestro" yang mengonsentrasikan dirinya pada kepuasan pelanggan. Mereka bersaing dalam menciptakan gudeg dengan citarasa terbaik, bukan dengan cara-cara lain.  

Pendapat ini tak mudah terbantahkan karena sesungguhnya secara tradisional gudeg dimasak tidak kurang dari delapan belas jam di atas tungku dengan bahan bakar arang atau kayu  pilihan! Penjual gudeg di Yogyakarta dikenali dari tempat mereka menggelar dagangan atau dari nama perintis/penjualnya. 

Nama Gudeg Pawon (Semaki), disematkan karena pelanggan langsung menuju dapur (pawon) untuk dapat menikmati gudeg pada malam hari. Gudeg Plengkung (Wijilan) disebut begitu karena Yu Djum menggelar dagangannya di sebelah selatan Plengkung Gading; gudeg Batas Kota, benar-benar terletak di batas kota Jogja--Sleman, Jalan Laksda Adisucipto; dan gudeg Permata karena membuka lesehan di dekat bioskop Permata; di jalan Gejayan juga ada gudeg Gang Buntu yang setiap pagi menjual gudeg di depan gang Buntu.   

Sementara itu, gudeg yang dikenali dari brand image nama perintis atau penjualnya antara lain gudeg B. Djuminten (di Asemgede), Bu Achmad (Barek), Bu Lies (Wijilan), dan Bu Tjitro (Laksda Adisucipto).

Pada tahun 1970-an jumlah penjual gudeg masih sangat terbatas, terlebih yang memiliki warung sebagai tempat berjualan. Umumnya penjual gudeg menggelar dagangan di emperan toko dengan lapak seadanya. Seperti gudeg di pertigaan jalan Bumijo dan Jalan Diponegoro (sempat dikenal dengan gudeg Apotik Tugu Kulon),  kemudian dua penjual gudeg  menempati kios kecil  di ujung timur Jalan Poncowinatan dan Jalan Pakuningratan: gudeg  Ginuk dan gudeg Mbok Marto.

Warung gudeg pertama yang saya kenali dengan baik adalah gudeg Djuminten karena berjarak hanya tiga ratus meter dari rumah dan Eyang Kakung penggemar   gudeg tahu. Jadinya, hampir setiap pagi saya ikut antre bersama saudara perempuan di warung gudeg Djuminten yang sudah dirintis sejak tahun 1926. Dari jam enam pagi sudah banyak pelanggan yang antre karena takut tidak mendapatkan gudeg sesuai keinginan mereka. Terkadang terlihat kerumunan berdesakan. Ini terjadi karena pada tahun 1970-an belum banyak variasi makanan dan warung yang menyediakan sarapan.

Sugeng rawuh/Foto: Hermard

Bangunan jadul berkesan klasik dan rasa khas gudeg yang tidak terlalu manis, sampai hari ini masih dipertahankan oleh penerus gudeg Bu Djuminten yang merupakan generasi ketiga. Warung gudeg Djuminten terletak di Jalan Asem Gede 14 atau Jalan Kranggan 69 (di sebelah barat Tugu Pal Putih Yogyakarta),  memiliki jendela kaca besar dengan pintu "kupu tarung", kedua bilah daun pintu bisa dibuka bersamaan. Begitu masuk, suasana njawani terasa pekat membalur suasana ruang makan dengan  ucapan selamat datang (sugeng rawuh) dan terima kasih (maturnuwun), ditulis menggunakan aksara Jawa, menghiasi dinding bagian dalam. 

Nasi gudeg plus beras kencur/Foto: Hermard

Taplak meja bermotif batik, dan di salah satu sisi terdapat deretan kaleng berisi kerupuk sejuta umat (banyak digemari dan tersedia hampir di setiap warung makan) menegaskan aura Jawa warung gudeg B. Djuminten.

Kaleng kerupuk/Foto: Hermard

"Rasa gudegnya berbeda dengan tempat lainnya. Tidak terlalu manis. Areh-nya gurih dan nangkanya empuk," komentar Noereska yang tengah menikmati makan siang. Di piring lelaki asal Blora tersebut tersaji nasi gudeg dengan suwiran ayam, dilengkapi tahu,  telur, dan sambal kerecek.

Pelanggan gudeg Djuminten bisa memesan nasi gudeg polos, nasi gudeg dengan lauk tahu, suwiran daging ayam, ati ampela,  telur, dada, paha, kepala, dan sambal goreng kerecek. Minuman yang tersedia teh, kopi, beras kencur, wedang/es tape, dan jeruk.

Melayani pelanggan/Foto: Hermard

Jika ingin membawa oleh-oleh gudeg untuk keluarga di luar kota, tersedia gudeg kendil yang berisi gudeg kering sehingga tahan dibawa dalam perjalanan.

Ciri pembeda gudeg legendaris Djuminten terletak pada kuah areh yang terasa gurih dan kental. Ini tersaji karena areh terbuat dari  kelapa asli pilihan. Ayam yang digunakan merupakan ayam kampung muda. Proses memasak bahan-bahan bakunya pun memakai kayu bakar  pohon sono keling,  terutama dalam pengolahan areh, gudeg, dan telur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline