Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Menulis Semudah Menepuk Seekor Nyamuk

Diperbarui: 1 Desember 2022   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Menulis dan Berbicara
Di kelas menulis bagi pemula, saat sesi tanya jawab dimulai, si Polan tanpa ragu mengangkat tangan.


"Pak, mengapa saya sering mengalami kesulitan saat ingin membuat tulisan?"


Pertanyaan semacam ini  muncul berulang dalam kelas Pelatihan Menulis. Perlu disadari  bahwa sesungguhnya banyak orang yang ingin  menulis, tetapi keinginan itu hanya bersarang dan nyangkut di kepala, sebatas angan-angan, tidak benar-benar pernah dituliskan secara empirik. Hal ini terjadi karena beberapa alasan: masih sibuk, belum sempat menulis, belum punya waktu, nanggung masih menyelesaikan tugas penting, besok kan masih ada waktu, belum menemukan kalimat pembuka yang pas, dan berbagai dalih lainnya yang sungguh masuk di akal kurang waras.... Lha  mau nulis beneran apa tidak? Atau hanya pura-pura ingin menulis? Icak-icak nian?

Sebenarnya menulis itu semudah kita berbicara, ngerumpi, gibah, ngobrol, ngrasani,  bisa dimulai dari mana saja, asalkan cerita atau informasi yang  disampaikan  menarik perhatian  teman ngobrol. Jika saat berbicara si Koplo mampu memukau atau menyihir lawan bicaranya, berarti ia punya modal besar untuk menulis. 

Cobalah  berbicara tentang sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dialami, diangankan, kemudian direkam. Setelah selesai, putar ulang rekaman itu, dengarkan dan tulis ulang di laptop atau gawai. Nah, jadilah draf tulisan, tinggal  membaca berulangkali sambil melakukan perbaikan di sana-sini agar tulisan menjadi layak dipublikasikan. Beri perhatian terhadap tanda baca, pilihan kata, susunan kalimat, kesatuan paragraf, hubungan antarparagraf. Kalau semua sudah baik-baik saja, berarti tulisan siap disebarluaskan.


Menulis dan Bakat
Si Limbuk, duduk di deretan depan terlihat gelisah. Sejurus kemudian dengan ragu-ragu mengajukan pertanyaan.


"Pak, saya yakin tidak akan mampu mengerjakan tugas yang bapak berikan. Saya merasa tidak punya bakat menulis," ujar Limbuk tersipu malu seraya menebarkan senyum termanisnya.


Bakat? Saya termasuk salah seorang yang mempercayai bahwa menulis tidak tergantung pada bakat. Sama halnya ketika  memutuskan  masuk dalam perguruan pencak silat, jujur saya merasa tidak punya bakat berkelahi dan bela diri. Bagi saya menulis dan pencak silat  (serta banyak kegiatan lainnya), bukan tergantung pada bakat, tetapi lebih tergantung pada kemauan seseorang meningkatkan potensi diri sesuai bidang pilihannya.


Agar dapat menulis, maka seseorang seyogianya bersedia berdarah-darah meningkatkan potensi diri di bidang kebahasaan, kreativitas, dan imajinasi. 

Begitu pula di bidang bela diri, seseorang harus bersedia melatih kecepatan gerak, mempertahankan kuda-kuda, memahami  jurus-jurus  menghindar maupun menyerang lawan. Mengerti jurus harimau memetik teratai....
Sebelum ini, pernah saya paparkan bahwa saya tercebur ke dunia penulisan karena dendam kepada guru bahasa Indonesia yang memberi  nilai kurang memadai (cek tulisan "Dendam terhadap Guru Bahasa Indonesia", 25 November). Di sisi lain, saya tumbuh dalam keluarga yang tidak ada kaitannya dengan dunia tulis-menulis.  Ayah seorang PNS yang suntuk dengan urusan sertifikat tanah dan ibu setia mengurusi pekerjaan rumah tangga, masak lan umbah-umbah.


Menulis Mengapa Tidak?
Sesungguhnya kegiatan menulis pada era digital saat ini sangat mudah dilakukan, semudah menepuk seekor nyamuk. Betapa tidak, jika perlu referensi atau   data mengenai apa pun, kita bisa bertanya pada Mbah Google setiap saat tanpa beringsut dari kamar, tidak usah bersusah payah datang ke perpustakaan, membuka puluhan buku. Pun sekarang kita tidak tergantung sepenuhnya pada media cetak dalam mempublikasikan tulisan. Banyak flatform media online yang menyediakan ruang publikasi. 

Lewat flatform Kompasiana, misalnya, kita dapat mempublikasikan tulisan dalam waktu sesingkat-singkatnya, mengetahui jumlah  dan reaksi pembaca terhadap tulisan tersebut. Dengan demikian,  kita dapat menakar seberapa buruk atau seberapa bagus kualitas  tulisan melalui reaksi pembaca yang langsung dapat  dipantau lewat statistik Kompasiana.
Bagaimana, masih juga sulit menulis, masih sekadar dalam angan-angan?
Kalau begitu, jadilah seekor nyamuk yang siap ditepuk si Polan, si Koplo,  dan si Limbuk.


"Plak!"
Alamak!



*Herry Mardianto




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline