Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Rasisme dan Pengkondisian Sosial

Diperbarui: 1 Juli 2020   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari https://pedomansulsel.com/

Bagaimanapun, prasangka rasial itu ada. Dari stereotip sampai pada praksisnya. Sayang sekali bahwa psikologi sosial seakan melanggengkan hal tersebut. Di satu sisi ada upaya komunal untuk membangun identitas sosial, di lain sisi justru mempertinggi dan mempertebal sekat sekat sosial.

Faktanya: ketika kita mendengar orang atau kelompok tertentu dari suku tertentu, kita sudah punya bayangan yang menjadi pra pemahaman kita. Apapun itu, kalau saya sebutkan misalnya orang Jawa, orang Sunda, orang China, orang bule, orang Afrika, orang Arab, orang India. Kita langsung punya bayangan berdasarkan stereotipnya. Bukan hanya fisiknya, bukan?

Awalnya mungkin, stereotip sejauh masih dipahami objektif dipahami sebagai sebuah budaya yang didasarkan pada kodrat, hal itu masihlah lumrah. Namun, kelumrahan ketika masuk pada area politis menjadi sebuah banalitas rasialisme. Pembedaan pembedaan rasial, berupa makian, diskriminasi dalam berbagai seginya, menjadikan cara berfikir dangkal tentang rasisme.

Kita semua tentu menginginkan agar kita tetap membangun identitas komunal kita. Sebagai orang jawa, sebagai orang manado, sebagai orang sunda, sebagai orang Indonesia. Atau lebih luas, ketika kita bicara agama sebagai sebuah indentitas komunal, ada kepentingan untuk menanamkan kebanggaan sebagai orang Kristen, sebagai orang Islam, sebagai orang Hindu, sebagai orang Yahudi, dll. 

Namun, lihatlah di sini, ketika saya memandang diri dengan agama tertentu, ada bahaya untuk melihat orang lain dengan agamanya sebagai liyan. sebagai sosok yang lain, yang sadar tidak sadar memang membangun tembok. 

Apalagi hal ini kaitannya dengan klaim klaim keselamatan dan moralitas. Keselamatan akan bicara kita selamat, agama kita selamat, yang lain sesat dan tentu saja tidak selamat. 

Moralitas ketika bicara baik dan buruk (apalagi secara etis bicara jahat dan keutamaan) akan bicara kami baik dan kalian tidak baik. apalagi ketika sesuatunya memandang hitam putih, kalau begini pasti begini, maka yang berbeda dari ini tidak mungkin juga begini.

Seakan melupakan bahwa perbedaan dan pilihan (dengan latar belakangnya yang berbeda) adalah sebuah kodrat yang mustahil untuk diseragamkan atau dipaksakan untuk sama.

Saya ingat kata kata KH Imam Pituduh ketika memberikan ceramah dalam sebuah diskusi di gereja, "kami ini saudara kalian, kalian itu saudara kami, kita berbeda pilihan tetapi tetap saudara dan bekerja sama. 

Jadi kalau Tuhan nanti menentukan keselamatan berdasarkan agamanya, kalau misalnya kami yang masuk surga maka kalian akan saya ajak ke surga. sebaliknya kalau ternyata agama kalian yang ditentukan masuk surga, ya tolong kami ini juga diajak. karena kita saudara dan bekerja sama dalam kebaikan..."

Tentu nadanya sangat berkelakar karena saat itu disambut tawa dari audiens, di mana yang hadir masyarakat umum dari berbagai agama. Demikianlah persaudaraan dan kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline