Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Membaca Politik Jakarta Lewat Kupingnya Pak Haji Lulung

Diperbarui: 16 Juni 2016   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari www.liputan6.com

Mungkin sebagian besar orang, kuping sekedar menjadi alat pendengaran. Dijaga banget agar tetap sehat wal afiat. Tanpa kuping ya sepertiga kehidupan sudah hilang. Hidup terasa sepi. Tapi, bagi pak haji Lulung... kuping bisa punya manfaat politis. Kuping adalah media politik untuk mengungkapkan keyakinannya.

Yakin bahwa ucapan Ahok hanyalah hoak bahwa BPK ngaco.... Bang lulung yang mungkin sekarang sudah cerdas bisa membedakan UPS dengan USB ini mengatakan,  "Kalau dia berani (gugat BPK ke pengadilan), bilang Ahok, gue potong kuping gue. Haji Lulung minta dipotong (kupingnya). Kalau dia berani nih ke pengadilan tuntut BPK, potong kuping gue," kata Lulung sambil menarik-narik telinganya, di Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (14/4/2016 sumber kompas).

Lalu, mengikuti keyakinan dan juga mungkin malah sebaliknya.... politikus dari PPP yang cukup kontroversial ini mencoba memberikan batas waktu,"Mana? Gue kasih waktu dua hari ke Ahok kok. Kalau lewat dua hari, ya enggak bisa," kata Lulung, di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu (16/4/2016). Hal itu menanggapi pernyataan Ahok yang menyatakan seandainya bang Lulung ga jadi potong kuping gimana. Lebih menarik lagi... jelas ini dagelan sebenarnya daripada sikap politik yang serius, bang Lulung menyatakan ya... paling cuman dihujat doang kan. Ya gapapa. Logikanya sudah biasa mah yang namanya politkus itu dihujat.

Kata sudah biasa dalam politik inilah yang menjadikan politik tampak sedemikian dangkal... sekedar panggung komedi untuk cari uang. Sebagai politikus yang menyandang gelar sarjana hukum jelas saya yakin pak Lulung tahu kalau BPK tidak bisa digugat-gugat. Paling mungkin ya diajukan ke komite etiknya BPK sendiri. Makanya, bang haji Lulung bisa sangat yakin. Bukan masalah ga berani, tapi ga bisa. Nah... mungkin... ini mungkin loh ya.... ketidakbisaan ini bisa dimaknai sebagai ketidakberanian.

Nah... dagelannya lagi... ini benar-benar komikal sebenarnya... begitu Ahok nanggepin kok pak Lulungnya jadi jiper.... makanya keyakinan saya bahwa bang Lulung ini yakin dengan pernyataannya.... dan juga kecerdasannya di bidang hukum kok tiba-tiba ilang. Saya jadi ragu dengan kesarjanaan hukumnya bang haji satu ini. Jangan-jangan nyolong tuh sarjana hukumnya. Maaf ya kawan-kawan suka haji lulung!!!

Padahal, secara hukum apa yang dilakukan Ahok sudah benar tuh... dulu begitu ada hasil audit BPK, sang gurbernur langsung lapor ke komisi etiknya BPK... yang berbuah pada dimutasikannya pak Efdinal.

Kembali ke kupingnya pak haji Lulung.... rupanya memang selamatlah kuping itu berkat konstitusi. Tak Mungkin pak Ahok menggugat. Rupanya, kuping itu benar-benar media politik yang jujur karena dia sebenarnya mendengar doa pak Lulung yang sebenarnya. Konon, doanya pak Haji adalah semoga dalam kasus sumber waras tidak ada tersangka. Wuah.... ini doanya bagus sekali loh karena doa itu persis bertentangan dengan apa yang dia ungkapkan selama ini. Pasalnya, sebelumnya bang Haji bahkan sudah dengan tekad bulat kalau pak  Gurbernur harus lekas menggunakan rompi oranye. Ternyata tidak begitu toh sebenarnya. Hatinya diam-diam jatuh hati... eh salah, diam-diam mendoakan agar Ahok selamat dari kasus sumber waras. Pertaruhannya ga main-main loh ya... kuping.

Sayang... kuping-kupingan politik itu justru memberikan makna dalam penafsiran bahwa adanya jarak antara hati dan ucapan itu hal yang biasa... antara janji dan kenyataan itu hal yang wajar. Singkatnya... kuping itu bisa dibaca bahwa bohong dalam politik itu normal.

Lain Kuping lain monas...

Tugu Monas Jakarta dibangun dalam rangka membangun kesadaran dan juga penghormatan akan api perjuangan yang pernah diberikan oleh para pejuang kemerdekaan. Monas diharapkan bisa menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.  Monas dengan api semangat dari emas di puncaknya diharapkan bisa membangkitkan semangat patriotisme bangsa Indonesia. Sayang sekali... harapan itu sepertinya jauh panggang dari api. Jangankan sebagai simbol perjuangan... mendengar monas sekarang dalam hal politik kok terasa sedih dan miris yak.....

Ada koruptor dan juga pecundang politik yang menodai obor perjuangan monas ini... hadeehhh... mohon tidak diambil hati yak....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline