Lihat ke Halaman Asli

Literasi Kata

Bukan Terikat

Sungai yang Meminta Kedatangan

Diperbarui: 18 Juli 2025   20:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Radar Utara edisi Minggu, 12 Januari 2025

Karya Heri Haliling

Sebuah bendungan membelah sungai lebar nan panjang di samping pusat kota yang sarat dengan kecongkakan. Di atas bendungan adalah jalan raya yang difungsikan sebagai penghubung warga yang akan merangkak ke kota. Sejatinya, cerita ini bukan tentang hiruk pikuk kekejaman kota yang merajam warga di pinggiran sungai. Mula kisah ini justru lahir di antara kecokelatan air, tumpukan bambu, ranting pohon, plastik chiki-chiki, botol minuman plastik, puluhan popok sampai alat kontrasepsi, serta 'maaf' kotoran manusia yang mengambang. Dengan siraman air keruh dari turbin yang terbuka, semua lanskap sampah itu seumpama perhiasan yang berkerumun di leher bawah bendungan.

Adalah Pak Prehatin yang berperawakan kurus dengan kaos oblong putih kumal dan mengenakan topi temuannya yang terlihat berjemur ria di tengah sengat surya yang membakar. Kedua tangan legamnya erat mendorong tiang bambu yang sebentar-sebentar menghujam melajukan sampan. Bersama putranya yang masih SMP, Kinong kadang menggerutu kala mendampingi sang bapak dalam menerebas meteran sampah yang mengapung di air pasang sekitaran bendungan.

"Orang lain bekerja ke kota. Kita mulung, gengsi dikit, Pak" celetuknya yang memang berdasar.

"Kau sangka tetangga kita yang ke sana juga nggak mulung? Sama saja, bukan? Lagian Nong, profesi ini lebih menjanjikan dari mereka yang utamakan gengsi."

Kinong yang berkulit kurang lebih dengan bapaknya mencoba menutup alis dengan tangan. Kebiasaannya yang enggan bertopi dibayar lunas oleh matahari siang ini.

"Kinong malu, Pak. Di mana-mana selalu jadi bahan ejekan."

Radar Kediri, 23 Maret 2025

Sampan menyusur pelan. Merasa tempat yang diperkirakan, mata Pak Prehatin mulai menjalar dan merabai setiap celah dalam hamparan sampah. Sekarang semua bau menjadi satu. Mulailah Pak Prehatin dan putranya menarik baju membungkus lubang hidung.

"Yang pantas malu itu orang yang pake jasa Bapak, Nong. Nah itu!!!.." tunjuk Pak Prehatin menemukan apa yang dicari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline