Lihat ke Halaman Asli

Hendri Teja

TERVERIFIKASI

pengarang

Kepahlawanan di Malam Natal

Diperbarui: 24 Desember 2016   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam  ini malam Natal, dan karenanya saya teringat pada Riyanto, anggota Banser NU.  Ia sudah berpulang, tetapi namanya selalu hidup di Gereja Eben Haezer Mojokerto.

Saya membayangkan pada malam Natal  itu, 24 Desember 2010, Riyanto mengecup punggung tangan sang Ibu, Katinem. Mohon restu untuk bertugas menjaga malam perayaan natal gereja-gereja. Mengendarai vespa merah, Riyanto sampai di Gereja Eben Haezer. Ia bertugas bersama tiga rekannya.

Menjelang tengah malam, seorang jemaat menemukan bungkusan tak bertuan di depan pintu masuk gereja. Di hadapan petugas keamanan, Riyanto membuka bingkisan itu. Sekonyong-konyong terbit percikan api. “Tiarap!,” teriaknya sigap.

Riyanto tergopoh-gopoh keluar. Ia mencampakan bungkusan bom itu ke tong sampah. Nahasnya, meleset. Bukannya menjauh, Riyanto malah kembali memungut bom itu. Ia menamengkan dirinya.  Sekali lagi, hendak melemparkan bom itu jauh-jauh.

Tetapi apa mau dikata? Tuhan punya kuasa. Bom itu meledak dalam pelukan sulung dari 7 bersaudara  itu. Korban berjatuhan, tetapi khalayak maklum. Tanpa pengorbanan Riyanto jumlah korban akan lebih besar.

Butuh segunung keberanian untuk bertaruh nyawa, dan bertaruh nyawa untuk keselamatan kalangan yang bukan “siapa-siapa” boleh jadi adalah salah satu puncak keberanian. Riyanto sudah melintasi gunung toleransi. Ia bukan sekadar menghargai perbedaan, melainkan mengorbankan diri untuk memperjuangkan harmoni dan sinergi atas perbedaan itu.

Tak pelak, heoisme ini mengingatkan saya pada wejangan K.H. Abdurahman Wahid. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Jika kejadian ini ditarik pada situsi-kondisi kekinian, tentu jadi pangling. Dua bulan terakhir ini, bangsa kita dihantam dengan isu Bhineka. Baik media mainstrem maupun sosial media  terus menggulirkan sintemen agama dan etnis.

Keteledoran-keteledoran kita merawat toleransi menjadi sasaran empuk untuk objek umpat-hujat. Bangsa ini mendadak menjadi begitu mahir mencari-cari kesalahan, tetapi seolah buta akan prestasi-prestasi toleransi dalam sejarah kita. Framing!Demi menghujat, informasi yang disebar sepotong-sepotong. Dan celakanya, sentimen ini mulai bergerak menjadi aksi baku bully; saling serang.

Bahkan cacing yang diinjak pun akan menggeliat. Permasalahannya, siapa yang jadi cacing? Siapa yang jadi sepatu bot? Jangan-jangan, kita malah menyandang standar ganda; menjadi korban sekaligus pelaku. Atau yang parah: berlagak menjadi korban, tetapi sebenarnya pelaku.

Atau jangan-jangan semua ini sejatinya berada di luar keinginan kita? Jangan-jangan ada operasi  intelejen yang dilakukan untuk membuat situasi-kondisi terus memanas? Terus-menerus membayurkan kegentingan amat sangat. Padahal levelnya masih di ambang batas yang bisa kita terima. Level di mana kita bisa bersikap bijak dengan berkata “biar polisi yang mengurus”, bukan malah terseret dalam aksi menyiramkan bensin ke api yang berkobar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline