Lihat ke Halaman Asli

Pilar Strategis Menuju Kemandirian Energi

Diperbarui: 31 Desember 2015   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Energi merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Namun, ketika kebutuhan primer itu tak terpenuhi apa yang akan terjadi? Mampukah kita menjawab pertanyaan tersebut? Tentu tidak ada yang bisa lepas dari kebutuhan akan sumber energi. Dalam kehidupan sehari-hari energi sudah serasa mendarah daging yang mutlak untuk dipenuhi dan pada skala yang lebih luas energi telah berkontribusi sebagai penggerak sendi-sendi kehidupan bangsa.

Kemandirian energi merupakan cita-cita bersama bangsa Indonesia. Namun, untuk mewujudkannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Indonesia yang konon katanya disebut memiliki berbagai sumber energi alternatif non-migas, faktanya masih jauh dari keadaan mandiri. Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi setiap tahunnya telah berimbas pada naiknya permintaan terhadap kebutuhan energi. Dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia masih mengalami neraca energi yang tidak berimbang dimana permintaan lebih tinggi dari kemampuan produksi. Pada akhirnya kebijakan impor menjadi sebuah solusi sementara, walaupun dinilai kurang bijak.

Sementara itu, data terbaru dari Outlook Energi Indonesia 2014 memaparkan bahwa cadangan minyak nasional hanya menyisakan 3,74 milliar barel. Jika data ini akurat, maka banyak pihak memprediksi bahwa pundi-pundi energi tersebut hanya akan bertahan hingga 10 tahunan lagi. Hal ini diperparah oleh penurunan produksi minyak dalam negeri yang hanya mencapai rata-rata 800.000 barel per hari sedangkan konsumsinya mencapai 1,6 juta barel setiap harinya. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Indonesia terpaksa mengimpor sekitar 800.000 barel per hari.

Bertolak dari fakta-fakta di atas, kita semua akan setuju apabila penguatan ketahanan energi merupakan sesuatu yang mendesak untuk diupayakan. PT. Pertamina (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipercaya untuk mengelola sektor energi terus bergegas dalam mewujudkan Indonesia yang mandiri energi sekaligus bertransformasi menjadi national oil company (NOC) kelas dunia. Tidak hanya sampai di situ, perusahaan plat merah ini pun kian menunjukkan tajinya dalam kegiatan ekspansi sumber-sumber energi di luar negeri. Strategi perusahan yaitu “Aggresive Upstream, Profitable Downstream” seakan menegaskan bahwa Pertamina hadir tidak hanya untuk menjadi jago kandang. Tercatat hingga tahun 2015, cukup banyak kilang minyak di luar negeri telah diakuisisi oleh perusahan ini. Hal ini pun menjadi prestasi tersendiri bagi Pertamina. Lebih jauh, agresifitas dalam menguasai sumber energi di luar negeri dapat menjadi buah manis di masa mendatang. Adanya cadangan migas di luar negeri tentu akan memperkuat persedian energi dalam negeri. Sebagai NOC yang masuk ke dalam 500 perusahan terbaik dunia, Pertamina sama sekali tidak mau kecolongan dalam urusan memperkuat cadangan energi. Bak pepatah: sedia payung sebelum hujan, perusahaan ini pun tak sedikitpun lengah dalam mengantisipasi probabilitas krisis energi di masa mendatang.

Dalam mewujudkan kemandirian energi nasional sekaligus menjadi perusahan kelas dunia berbagai upaya telah ditempuh oleh Pertamina. Mulai dari penguatan sektor hulu hingga hilir. Namun, beberapa tantangan kerap kali mengiringi langkah Pertamina untuk menjadi perusahaan yang mendunia. Oleh sebab itu pilar strategis yang tepat sasaran guna menjawab tantangan yang ada harus diambil sedini mungkin. Empat pilar strategis yang seyogyanya menjadi medan gerilya Pertamina meliputi optimalisasi cadangan energi dalam negeri, eksplorasi energi alternatif, ekspansi yang berkelanjutan, dan pemanfaatan dana ketahanan energi. Laksana mata rantai, keempat pilar tersebut saling terkait erat satu sama lain. Kombinasi yang seimbang dipercaya dapat menjadi senjata ampuh dalam mewujudkan mimpi Indonesia sebagai bangsa yang mandiri energi. Pada saat yang bersamaan juga diharapkan dapat menjadi jembatan untuk mengantarkan Pertamina menjadi goliat dunia. Namun, keempat pilar tersebut tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya. Dalam hal ini, sinergitas pemerintah dan Pertamina menjadi kunci untuk memuluskan berbagai ekspektasi di masa mendatang.

Optimalisasi Cadangan Energi Dalam Negeri

Walaupun secara kumulatif diperkirakan Indonesia memiliki cadangan minyak sekitar 43,7 milliar barel, upaya untuk mengoptimalkannya tidaklah mudah. Kehadiran peralatan yang berteknologi tinggi serta sumber daya manusia yang profesional dipercaya menjadi kebutuhan utama untuk mengeksplorasi cadangan minyak tersebut. Tak pelak lagi, Pertamina bersama pemerintah harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi, untuk melaksanakan bisnis di sektor hulu prosedur panjang pun harus dilewati. Ada sekitar 341 perizinan, persetujuan, rekomendasi, dan lainnya yang ada di sektor migas Indonesia. Kondisi ini ditengarai menjadi salah satu sebab lambatnya geliat industri migas di Indonesia. Alih-alih menjadikan industri migas semakin berkembang, banyaknya prosedur yang ada justru membuat investor asing enggan menginjakkan pondasi bisnisnya di Indonesia.

Fakta tersebut membuat industri yang padat modal dan berisiko tinggi ini masih memerlukan berbagai pembenahan dalam hal perizinan. Perlunya pembenahan aturan main di sektor migas juga didorong oleh komitmen pemerintah yang saat ini tengah gencar dalam menginisiasi eksplorasi cadangan minyak di dalam negeri. Dalam hal ini, kehadiran Perpres percepatan pembangunan kilang minyak yang juga memuat penyederhanaan perizinan merupakan angin segar bagi para pelaku industri migas. Bahkan, dari kabar yang berhembus, berbagai insentif pun disiapkan oleh pemerintah bagi investor yang bersedia membangun kilang minyak di Indonesia. Apabila pembenahan ini sukses seperti yang diimpikan, maka tak berlebihan bila kita mengangkat dua jempol untuk pemerintah.  

Melirik Energi Alternatif

Selain optimalisasi kegiatan eksplorasi dengan pembangunan kilang-kilang minyak strategis, adanya berbagai sumber energi alternatif terbarukan juga menjadi modal berharga bagi Indonesia. Pertamina pun sudah relatif lama melirik peluang energi terbarukan tersebut, sebut saja energi panas bumi (geothermal). Energi ini ditengarai lebih efektif dibanding energi terbarukan dari tenaga surya dan angin mengingat konsumsi areanya yang lebih sedikit, tidak terpengaruh kondisi cuaca, dan mampu memberikan energi secara berkesinambungan. Kondisi ini juga dipermudah karena wilayah Indonesia diganjar oleh begitu banyak gugusan gunung aktif (ring of fire) yang tentunya menyimpan energi panas bumi yang banyak pula dan siap untuk dipanen. Tak tanggung-tanggung, Indonesia pun menempati urutan ketiga teratas di bawah Amerika dan Filipina sebagai negara yang memanfaatkan energi panas bumi, dengan kapasitas yang sudah dimanfaatkan sebesar 1.341 MW. Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi, Abadi Purnomo secara keseluruhan potensi panas bumi di Indonesia mencapai 28.617 MW. Artinya yang sudah dimanfaatkan oleh Indonesia hanya 4,68%.

Selain panas bumi, potensi bioenergi atau biomassa (bioetanol, biodiesel, dan biogas) juga sangat menggiurkan untuk dikembangkan di Indonesia. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa potensi bioenergi di Indonesia mencapai 49.810 MW, sedangkan pemanfaatannya baru mencapai 1.618 MW atau sekitar 3,25%. Salah satu sumber bioenergi yang menjadi pusat perhatian adalah berasal dari mikroalga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi minyak dari mikroalga lebih tinggi dari yang dihasilkan oleh kelapa sawit dimana kapasitasnya mampu menghasilkan 80.000 liter/hektar kultur/tahun. Pemanfaatan mikroalga juga didukung oleh luasnya lautan yang dimiliki Indonesia, ditambah lagi dengan keadaan iklim tropis yang sangat mendukung pertumbuhan organisme tersebut untuk menghasilkan biodiesel maupun bioetanol. Beberapa negara sudah terbukti sukses dalam menggunakan bioenergi guna meraih kemandirian energi nasional. Sebagai contoh Brazil, negara yang memiliki sejarah panjang dalam pemanfaatan bioenergi sebagai penggerak kegiatan masyarakat. Sempat mengalami krisis energi sejak tahun 1973, negara ini perlahan bangkit dari keterpurukan dengan mengoptimalkan produksi biomassa. Sekarang dunia pun mengakui bahwa Brazil adalah salah satu negara yang paling sukses memanfaatkan biomassa untuk menjamin ketahanan energi di negaranya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline