Lihat ke Halaman Asli

Hendra Fahrizal

Certified Filmmaker and Script Writer.

Hantu UU ITE

Diperbarui: 28 Maret 2019   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Serambi Indonesia

Foto ini muncul di harian lokal di kota saya tinggal. Petugas Satpol PP mengejar penjual ikan (liar) yang tidak berjualan pada tempat semestinya. Dagangannya jatuh berhamburan.

Alih-alih mengapresiasi petugas yang tegas menegakkan aturan menertibkan kota agar indah dan tidak semrawut, netizen yang melihat foto ini rata-rata malah menyampaikan rasa kasihan dan mengumpati petugas yang tidak pro rakyat kecil yang sedang cari makan.

Saya maklumi, orang itu, dengan tingkat wawasan netizen yang maha benar ini kebanyakan adalah kelas rata-rata. Namun, semua orang yang tahu bagaimana Satpol PP bekerja tentu mahfum, tindakan seperti ini dilakukan karena pedagang-pedagang seperti ini sudah berulang kali dingatkan, namun tetap nekat kucing-kucingan berjualan ditempat yang tak dibenarkan.

Tapi, yang saya ingin bahas adalah bukan soal Satpol PP bekerja dalam upaya mereka menertibkan kota. Kita bicara soal UU ITE. Lho?

Menurut saya, inilah ilustrasi yang tepat bagaimana UU ITE bekerja saat ini.

Salah satu kasus UU ITE yang paling menghebohkan adalah kasus Prita Mulyasari vs RS Omni. Kalau ilustrasinya adalah gambar diatas, maka Satpol PP itu adalah Prita, penjual ikan adalah RS Omni dan netizen adalah hakim. Hakim yang salah memutus.

Prita memang dinyatakan tak bersalah ditingkat Kasasi, saya hargai itu. Hakim dipimpin oleh Harifin Tumpa. Tapi ingat, dia dinyatakan bersalah di dua tingkat pengadilan sebelumnya. Dan tak semua hakim di tingkat pengadilan negeri dan tinggi seperti Tumpa.

Tentu kita sepakat bahwa kita tak berkenan dengan kondisi ini. Walaupun pengadilan itu tempat mencari keadilan bagi kedua belah pihak (saya memaklumi bahwa RS Omni juga mencari keadilan tersebut), tapi perbedaan putusan tentu dan usaha mencari keadilan ke tingkat yang lebih tinggi sangat menyita waktu dan energi.

Di era digital seperti saat ini. Saya sepakat UU ITE adalah keniscayaan dan perlu ada. Namun, dari beragam penolakan orang-orang, sebenarnya bukan masalah keberadaan undang-undangnya yang patus dipermasalahkan, tapi pasal horor 27 ayat 3 itu acap disebut pasal karet karena dipahami hakim laksana bagaimana netizen mencerna tindakan satpol PP seperti gambar diatas.

Saya sepakat, bahwa pasal 27 ayat 3 UU ITE harus dan wajib menjerat pelaku yang telah mencemarkan nama baik seseorang. Tapi harus diingat, hakim seharusnya memiliki pertimbangan memahami masalah dengan jernih. Mengapa seseorang melakukan tindakan itu. Dalam kasus Prita, Prita adalah orang yang telah berkali-kali melakukan usaha persuasif kepada rumah sakit. Namun tak mendapat respon seharusnya.

Karena merasa buntu, akhirnya ia menuangkan keluhan kepada satu-satunya ruang yang paling memungkinkan seorang individu mengutarakan sesuatu yang mengganjal hatinya; sosial media. Prita menjelaskan kronologi yang bagi saya sama sekali bukan pencemaran nama baik. Hanya keluhan seorang ibu terhadap dugaan maldiagnosa sebuah rumah sakit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline