Lihat ke Halaman Asli

Merasa Paling Benar

Diperbarui: 22 November 2021   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya melewati satu perdebatan mulut dengan seorang yang lebih tua dari saya. Hal ini terjadi lantaran adanya perspektif yang berbeda dalam memandang sebuah kejadian. Setiap orang tentu memiliki jawaban dan alasan yang menunjang pernyataan yang disampaikannya. Namun, sering kali masalah menjadi penutup yang menarik terhadap sebuah percakapan yang hangat menjadi penuh amarah. 

Pernahkah kamu merasakan hal yang sama? Awalnya percakapan yang menarik terpecah menjadi berbagai topik sehingga tidak meenemukan sebuah kesimpulan atau argumen yang terfokus pada sebuah topik. 

Salah satu hal yang paling membuat saya kesal saat berdialog dengan seseorang adalah merasa paling benar. Pernahkah kamu menemukan percakapan yang disela, dipotong, dan menyetarakan topik yang disampaikan dalam kehidupan pribadi? 

Percakapan yang disela membuat pernyataan yang disampaikan seseorang menjadi tidak utuh. Hal ini berdampak pada tanggapan yang diberikan pun tidak dapat melihat konteks secara utuh. Belum lagi seseorang yang diajak berdialog merasa sudah tahu dan paling benar. Coba perhatikan kata-kata yang digunakan untuk menyela percakapan.

"Aku juga, ..."

"Iya, kemarin aku...."

"Nah, kalau itu aku...."

"Beberapa bulan lalu, aku demikian"

"Sama, aku pernah"

"Aku sih begini"

Hal ini sering sekali ditemukan, bahkan hampir di setiap percakapan. Orang-orang masih menyamakan semua peristiwa sebagaimana kejadian yang terjadi dalam dirinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline