Rencana pembangunan PLTN di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, kembali menuai perdebatan publik. Kabar tentang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terdengar seperti angin besar yang membawa dua kabar sekaligus yaitu harapan dan kegelisahan. Sebagian warga membayangkan listrik yang stabil, peluang kerja baru, dan kemajuan wilayah yang selama ini terpinggirkan. Namun, tak sedikit pula yang dihantui bayangan bencana nuklir seperti Chernobyl dan Fukushima, serta keraguan terhadap kesiapan pemerintah dalam mengelola teknologi berisiko tinggi ini. Di tengah tarik-menarik antara ambisi energi bersih dan kecemasan sosial, polemik pembangunan PLTN kian menghangat, menjadi perdebatan serius dalam perjalanan transisi energi Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merencanakan pembangunan PLTN sebagai bagian dari strategi mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060. Proyek ini direncanakan mulai berjalan sebelum tahun 2030 dengan sejumlah wilayah potensial, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Bangka Belitung.
Namun, rencana tersebut tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga menyentuh lapisan sosial masyarakat. PLTN bukan sekadar proyek teknologi tinggi, melainkan intervensi besar terhadap ruang hidup komunitas lokal, persepsi kolektif masyarakat terhadap risiko, serta relasi antara negara dan warga.
Di beberapa wilayah calon lokasi, masyarakat menunjukkan antusiasme terhadap peluang ekonomi dan infrastruktur. Harapan terhadap lapangan kerja, peningkatan akses listrik, dan kemajuan wilayah menjadi faktor pendorong dukungan. Namun, ada pula keraguan mendalam, terutama terkait transparansi informasi, kesiapan teknis pemerintah, dan potensi bencana. Sejarah bencana nuklir global membentuk imajinasi kolektif masyarakat terhadap “bahaya nuklir” yang sulit dihilangkan.
Menurut Tumiran, pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), nuklir dapat menjadi pilihan strategis dalam sistem kelistrikan Indonesia di masa depan. “Nuklir adalah salah satu opsi yang dapat dipilih Pemerintah untuk sistem listrik di Indonesia di masa depan,” ujarnya dalam siaran pers Kementerian ESDM (1 Agustus 2024). Tumiran juga menegaskan bahwa energi nuklir dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan menekan emisi karbon.
Pemerintah menyadari bahwa persepsi publik adalah tantangan utama. Jisman P. Hutajulu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyampaikan bahwa edukasi dan sosialisasi harus diperkuat agar masyarakat memahami manfaat dan keamanan PLTN. “Kita perlu mengedukasi masyarakat tentang keuntungan dan keselamatan penggunaan energi nuklir, serta langkah-langkah mitigasi risiko yang telah diterapkan, ” ujarnya.
Dalam konteks sosiologis, penerimaan masyarakat terhadap teknologi baru sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, pengalaman historis, dan norma sosial. Di Indonesia, ketidakmerataan akses informasi, minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, serta stigma negatif terhadap kata “nuklir” memperkuat resistensi sosial. Polemik PLTN mencerminkan kesenjangan komunikasi antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal, serta memperlihatkan bagaimana kebijakan teknologi tinggi dapat menjadi arena perdebatan sosial.
Diagram dampak sosial–ekonomi pembangunan PLTN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI