Pendahuluan
Kawin hamil adalah sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat dan dalam aspek hukum ketika seorang perempuan menikah sambil mengandung, biasanya sebagai akibat dari hubungan di luar ikatan pernikahan atau perzinahan. Di tengah masyarakat Indonesia yang umumnya menganut Islam, isu ini tidak hanya berhubungan dengan segi sosial dan etika, namun juga melibatkan sisi hukum dan keagamaan.
Menurut perspektif fiqh
Penerapan ushl fiqh dalam menentukan nasab anak dari pernikahan karena kehamilan di luar ikatan resmi melibatkan langkah-langkah dalam memverifikasi bukti, menggali hukum (istinb), memilih pendapat yang paling kuat (tarjh), dan menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam. Selain itu, prinsip maqid syar'ah menjadi landasan utama untuk melindungi tujuan-tujuan inti syariat, seperti perlindungan nasab, keadilan, serta kepentingan baik untuk anak dan ibu.
Secara umum, sebagian besar ulama beranggapan bahwa anak yang lahir akibat zina tidak dapat dinasabkan kepada orang tua biologisnya menurut perspektif hukum syar'i, kecuali dalam keadaan tertentu dengan persyaratan yang ketat. Namun, pendekatan ushl fiqh tetap memberikan peluang untuk mempertimbangkan berbagai pandangan, asalkan tidak bertentangan dengan bukti dan mengarah pada kemaslahatan yang lebih besar.
Dengan demikian, penentuan nasab bukan hanya sekadar persoalan hukum konvensional, melainkan juga harus memperhatikan faktor moral, psikologis, dan sosial untuk melindungi anak dan martabat keluarga sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Pernikahan di saat seorang wanita sedang mengandung akibat hubungan di luar nikah (kawin hamil) diperbolehkan dalam prinsip hukum Islam, Meskipun begitu, dalam sudut pandang fikih klasik dan maqshid syari'ah, pelaksanaan kawin hamil tetap memerlukan kehati-hatian. Elemen penyesalan, kesinambungan nasab, serta perlindungan bagi ibu dan anak menjadi pertimbangan yang krusial. Tujuan hukum Islam dalam melindungi nasab, menjaga kehormatan, dan memperhatikan kemaslahatan sosial mendasari diperbolehkannya pernikahan ini.
Namun, dalam kenyataannya, kawin hamil sering kali menghadapi stigma dalam masyarakat, pemahaman hukum yang berbeda-beda, serta tantangan budaya dan moral. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan hukum yang adil, bijaksana, dan kontekstual agar hukum Islam dapat memberikan perlindungan sekaligus mendorong tanggung jawab moral bagi pasangan yang terlibat.
Menurut perspektif kompilasi hukum islam ( KHI )
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, melalui Pasal 53, mengizinkan seorang wanita yang hamil di luar ikatan resmi untuk bersatu dengan pria yang menyebabkan kehamilannya, tanpa harus menunggu anak tersebut lahir. Aturan ini bertujuan menjaga garis keturunan, martabat, serta kesejahteraan ibu dan anak.
Akan tetapi, walaupun secara hukum diizinkan, terdapat beberapa kelemahan dalam aturan yang ada, seperti tidak adanya kejelasan untuk wanita hamil yang ingin menikah dengan lelaki lain selain dari ayah anak tersebut, serta masalah terkait garis keturunan dan hak-hak anak. Selain itu, pelaksanaan di masyarakat masih terpengaruh oleh berbagai faktor kebudayaan, moralitas, dan pemahaman yang bervariasi di kalangan publik.