Lihat ke Halaman Asli

ManG JIMs

orang desa

Keranjang "Sampah" Fiksi Kompasiana

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saat membuka "Kompasiana" banyak email masuk dengan rupa-rupa rokok undangan dan mungkin saja sebuah informasi. Salah satu informasi yang menggelitik benak saya pembuatan buku keroyokan fiksi, jenis cerpen dan puisi. Mau tidak mau, saya pun berkelana ke tag fiksi. Betul kah, fiksi di Kompasiana layak dibukukan?

Alangkah kagetnya, puisi dan cerpen yang diposting yang mungkin dapat dikumpulkan dalam buku keroyokan ternyata tag itu hanya merupakan "keranjang sampah". Fiksi yang diposting tidak mencerminkan sama sekali puisi atau cerpen. Apa yang hendak dikatakan puisi atau cerpen? Lha pilihan diksinya saja amburadul.

Bagaimana hendak disebut puisi, kalau cara menuturkannya lebih mirip kalimat-kalimat curhat. Curhat tidak lah penting untuk dijadikan buku keroyokan. Curhat yang tidak memiliki nilai estetika dalam penulisan puisi. Pertanyaannya, bagaimana hendak dikatakan cipta, karsa dan rasa kalau ketiga unsur tersebut tidak ada dalam roh puisi.

Mengambil ungkapan para kompasianer, bahwa "menulis dengan hati". Apakah menulis dengan hati bentuknya seperti itu? Kalimat itu sungguh keterlaluan, dan tidak ditempatkan pada tempatnya. Apakah menulis dengan hati sama dengan menulis menggunakan kepala? bagaimana rasa bahasa dan logika bahasanya?

Sungguh aneh, ketika sebutan menulis dengan hati. Kalau saja kalimat itu diartikan menulis secara spontan, apakah dapat dipertanggungjawabkan struktur kalimat, dan struktur berpikirnya? Mungkin karena kebanyakan menelan mentah-mentah "menulis dengan hati" tulisan tidak saja mengalami penurunan derajat struktur kalimat dan alur pemikirannya.

Kalau disebutkan, di Kompasiana sudah terjadi kekeliruan dalam pola berpikir menulis. Bahkan mungkin saja orientasi menulis mengalami pergeseran ke luar dari etika, estetika menulis. Sehingga, kerap melahirkan sampah-sampah baru yang membuat gatal isi kepala.

Gatal untuk mengomentari dan menuliskan hal yang sama. Jangan-jangan, menulis di kompasiana bukannya menambah pintar. Tapi memberikan ruang kebodohan baru yang semakin menjebak dalam lumpur. Sehingga ada anggapan menulis di Kompasiana sudah pintar, besar dan mumpuni. Ternyata ah .... hanya membuat keranjang sampah. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline