Lihat ke Halaman Asli

Rahmi H

Peskatarian

Ilusi Suami Istri

Diperbarui: 25 September 2017   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pexels.com

"Waktumu habis Nus, kau dilibas angan dan perangaimu sendiri" Halimah memasang tampang datar, seraya mengguyurnya dengan kemarahan tak terungkap. Dadanya naik turun akibat nafas tak beraturan, keringatnya tertahan di bawah hidung.

"Aku minta maaf Mah" Magnus duduk disamping tempat tidur. Kedua tangannya menopang kepala, tampang sesal menggantung kaku di wajah dan matanya. 

Tapi Halimah tak peduli, sepuluh tahun ia hidup bersama Magnus dalam naungan suci perkawinan yang lama ia rindukan. Halimah menyadari, Magnus tak sebaik lelaki yang ia impikan dalam hidup. Ia tak mendapati bakat suami idamannya dalam diri Magnus.

Di kamar itu, mereka tertegun, mengingat berapa kali pertengkaran seperti itu terus berulang.

"Maafmu selusin Nus, tapi kesalahanmu sejuta, aku sudah membangun dinding pengertian dalam jiwaku, aku sudah melapisi ruas kesabaranku dengan besi, agar aku bisa terus bertahan bersamamu meski hanya menyandang status sebagai istri. Inikah pernikahan yang ideal menurutmu Nus? Kau datang melempar uang dan raga sekehendak egomu, lalu pergi tanpa tahu bahwa dadaku terus bergemuruh, memendam rindu akan sosokmu. Kau tahu Nus, bagiku rindu tak lagi berbuah cinta, penantian bukan lagi dorongan kasih sayang, tapi keduanya telah berwujud luka, yang aku bosan merasainya karena aku tahu di rindu dan penantianku kau hanya akan memberiku uang dan uang" 

Air mata menggenang di pelupuk mata Halimah. Sesak didadanya kian terancam, menuntut untuk diungkapkan. Ia menghempaskan tubuh ke tempat tidur, Magnus hendak memeluk tubuhnya, namun Halimah mengamuk, berteriak, ia meronta, menolak tangan Magnus yang hendak meraih pinggangnya. 

Magnus mengalah, ia tak sanggup menghadapinya, sekian pertengkaran terlewati, ini pertama kali Halimah marah begitu keras terhadapnya. Ia paham kali ini Halimah tak akan memberinya kesempatan, ingatannya melaju ke percakapan mereka beberapa bulan lalu, ketika Magnus menceritakan impian terbesarnya pada Halimah.

***

Malam itu mereka berbincang, teras rumah seketika berubah pelabuhan cita dan angan, dua cangkir kopi terhidang hangat di meja, Magnus dan Halimah duduk berdampingan, sepasang suami istri itu memasang wajah sumringah, meski pancaran mata Halimah tak lagi menyimpan harap pada cerita-cerita indah yang terus diucap Magnus. 

Bibir Halimah menyungging senyum, namun mata dan batinnya menatap hambar. Magnus bukannya tak paham akan hal itu, namun ia berusaha mengajak Halimah, masuk lebih dalam lagi, ke lorong penuh ilusi yang kadang justru membuatnya frustasi.

"Kita hidup dalam komunitas besar Mah, tempat dimana kita mengabdikan hidup dan karya. Kita mesti hidup demi kesejahteraan banyak orang, agar kita menyadari betul, bahwa sejatinya nafas dan tubuh kita memang berarti untuk orang lain"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline